Menuju Penyatuan Kalender Hijriyah Internasional

MENUJU PENYATUAN KALENDER HIJRIYAH INTERNASIONAL

Keinginan umat Islam memiliki kalender Islam global telah lama diwacanakan melalui berbagai pertemuan baik nasional maupun internasional. Dalam konteks ini, ada dua keputusan yang dapat dijadikan model yaitu hasil Turki 2016 M/1437 H dan Rekomendasi Jakarta 2017 M/1438 H. Hasil uji implementasi keduanya selama 120 bulan (1442-1451 H/2020-2030 M) menunjukkan bahwa kalender Islam global Turki 2016/1437 lebih sesuai dengan prinsip dan syarat yang ditentukan dibandingkan kalender Islam global Rekomendasi Jakarta 2017 M/1438 H. Kalender Islam hasil Rekomendasi Jakarta 2017 M/1438 H sesungguhnya masih bersifat lokal dan belum memenuhi konsep kalender Islam global karena masih “mematok” wIlayah tertentu (markaz kawasan Barat Asia Tenggara), padahal salah satu prinsip kalender Islam global adalah markaz dimana saja di belahan bumi. Apalagi jika memperhatikan hasil kajian Tim BMKG mengusulkan kriteria imkanur rukyat adalah ketinggian hilal 5,23 derajat dan elongasi 5,73 derajat. Dengan demikian kalender Islam global hasil Turki 2016 M/1437 H lebih realistis-empiris.Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. H. Susiknan, M.A, Dosen Prodi S3 Ilmu Syariah Fakultas Syariah dan Hukum yang sekaligus Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam kegiatan Siri Wacana Falak Atma 2022 (Bil.1) dengan mengambil tema “Ke Arah Penyatuan Takwim Hijri Sejagat”. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Selasa, 8 Maret 2022, mulai pukul 10.00 – 12.00 waktu Malaysia. Penyelenggaraan kegiatan ini merupakan kerjasama antara Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Institute Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) UKM, Persatuan Falak Syar’I Malaysia, dan Akademi Falak Malaysia. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Kassim Bahali (Rektor Akademi Falak Malaysia).

Menurut Prof. Susiknan, Kawasan anggota MABIMS berkembang beragam sistem kalender Islam. Indonesia sebagai negara yang mayoritas berpenduduk muslim, memiliki beragam kalender Islam yang berkembang di masyarakat. Keragaman ini merupakan keunikan sekaligus tantangan bagi upaya penyatuan kalender Islam di Indonesia. Setidaknya terdapat empat kalender, yaitu kalender Muhammadiyah, Almanak PB NU, Taqwim Standar Indonesia Kementerian Agama RI, dan Almanak Islam PERSIS.Masing-masing memiliki sistem dan kriteria yang berbeda dalam penentuan awal bulan kamariah, khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijah.

Di Malaysia,sistem kalender Islam yang digunakan di Malaysia mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman. Selanjutnya ia membagi dalam empat periode, yaitu: pertama, periode sebelum 1969-1986 (menggunakan kalender Istilahi); kedua,periode 1986-1991 (menggunakan Kalender Ijtimak Hakiki); ketiga,periode 1992-1994 (menggunakan kalender ijtimak Wujudul Hilal); dan keempat, periode sejak tahun 1995 hingga sekarang menggunakan kalender Imkanur Rukyat atau “Takwim Rukyat”.

Kalender Islam Singapore yang dikeluarkan oleh Majelis Ugama Islam Singapore (MUIS) didasarkan pada kriteria visibilitas hilal MABIMS yang digunakan untuk bulan Muharam hingga Zulhijah tanpa menunggu hasil rukyatul hilal. Begitu pula Brunei Darussalam dalam pembuatan kalender Islam juga menggunakan kriteria visbilitas hilal MABIMS. Hanya saja dalam menentukan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah menunggu hasil rukyatul hilal. Sikap ini sama dengan Indonesia. Dengan kata lain pengguna kriteria visibilitas hilal MABIMS belum semua anggota melaksanakan secara konsisten.

Keinginan umat Islam memiliki kalender Islam internasional atau global telah lama diwacanakan melalui berbagai pertemuan baik nasional maupun internasional. Dalam konteks ini, Malaysia memiliki peran yang sangat penting melalui “World Conference on International Islamic Calendar” pada tanggal 29 Rabiul Awal-2 Rabiul Akhir 1412 H/8-10 Oktober 1991 bertempat di Universiti Sains Malysia (USM) Penang. Pertemuan ini menghasilkan program dan langkah menuju penyatuan Kalender Islam Internasional yang terkenal dengan istilah “Deklarasi Penang 1991”.

Dukungan penggunaan Kalender Hijriah Global juga muncul pada pertemuan “The Thirty-Seventh Session of The Council of Foreign Ministers (Session of Shared Vision of A More Secure and Prosperous Islamic World” bertempat di Dushanbe, Tajikistan pada 4-6 Jumadil Akhir 1431 H (18-20 Mei 2010) dan pada “The Second Emirates Astronomical Conference” pada tanggal 16-18 Jumadil akhir 1431/30 Mei – 1 Juni 2010.

Terlepas pengaruh dari Kalender Ummul Qura, Kalender Islam Unifikatif memberi harapan baru bagi upaya penyatuan Kalender Islam Global. Yang perlu dipahami adalah bahwa dalam sistem kalender Islam global ada prinsip dan syarat yang harus dipenuhi. Adapun prinsip yang dimaksud yaitu : (1) penerimaan terhadap imkanur rukyat, (2) kesatuan matlak, (3) satu hari satu tanggal di seluruh dunia, (4) penggunaan internasioan dateline, dan (5) kalender Islam untuk persoalan ibadah dan muamalah. Sementara itu ada 3 syarat yang harus dipenuhi yaitu (1) telah terjadi ijtimak di suatu tempat di belahan bumi manapun, (2) tidak boleh menunda awal bulan baru di suatu kawasan yang telah memenuhi imkanur rukyat, dan (3) tidak boleh memaksa tempat lain memasuki bulan baru yang belum terjadi ijtimak.

Kehadiran Kalender Islam Global adalah sebuah keniscayaan. Salah satu tantangan dalam mengimplementasikan Kalender Islam Global di Era Revolusi Industri 4.0 adalah habit of mind di kalangan umat Islam yang masih meyakini kalender hijriah bersifat lokal. Untuk itu diperlukan tahawwul al-fikr dari lokalitas menuju global melalui penyegaran kembali dalam memahami hadis-hadis rukyat dan matlak. Tidak kalah pentingnya adalah keberanian pemerintah mengambil keputusan dengan memadukan hadaratu an-nas, hadaratu al-ilm, dan hadaratu al-falsafah demi kemaslahatan bersama.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler