Minuman Keras dalam Perspektif Hukum Islam

MINUMAN KERAS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Dalam pandangan hukum Islam, minuman keras sudah final dan mutlak hukumnya, yakni haram. Keharamannya didasarkan pada pengqiyasan hukum khamr, yang dalam Alquran dan Hadis dijelaskan keharamannya. Ulama mengkategorikan konsumsi minuman keras sebagai tindak pidana atau jarimah hudud, yaitu tindak pidana yang ketentuan hukumnya sudah diatur sehingga tidak ada peluang untuk mengubahnya. Demikian pemaparan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag, Guru Besar dan sekaligus Ketua Prodi S3 Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sleman. Kegiatan FGD ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 31 Agustus 2024, di Lantai 3 Kantor Bupati Sleman, mulai pukul 08.30 hingga selesai.

Menurut Ketua MUI Sleman, Dr. KH. Ahmad Fatah, M.Ag, kegiatan ini bertujuan untuk merespon maraknya outlet yang menjual minuman keras di wilayah Kabupaten Sleman. Keberadaan outlet-outlet tersebut meresahkan warga bahkan mendapatkan penolakan. Oleh karena itu, MUI perlu menyikapi fenomena ini untuk dengan melaksanakan FGD yang menghadirkan semua elemen umat Islam di Kabupaten Sleman. Peserta dalam FGD ini terdiri dari: pengurus MUI Kabupaten Sleman, Ketua MUI Kapanewon se Kabupaten Sleman, Ketua MWC NU se Kabupaten Sleman, Ketua PCM Muhammadiyah se Kabupaten Sleman, Banser Kabupaten Sleman, KOKAM Kabupaten Sleman, dan para penyuluh agama di Kabupaten Sleman. Tujuan kegiatan ini adalah menggalag kekuatan sekaligus melakukan sinergi umat Islam dari berbagai elemen untuk bersama-sama meminta pemerintah menegakkan Perda Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol di wilayah Kabupaten Sleman. Selain Prof. Ali Sodiqin, FGD ini juga menghadirkan Dr. Ari Wibowo, S.H., M.H, Dosen Universitas Islam Indonesia yang juga anggota MUI Sleman.

Dalam FGD ini, Prof. Ali Sodiqin menjelaskan penetapan hukum khamr dari perspektif historis dan sosiologis. Mengkonsumsi minuman keras merupakan tradisi masyarakat yang sudah tua, bahkan sebelum Islam datang, masyarakat Arab sudah memiliki tradisi meminum khamr. Oleh karena itu dalam penetapan keharaman khamr dilakukan secara bertahap tadarruj. Ada empat tahapan dalam pentasyri’an keharaman khamr yaitu:

  1. Tahap pertama adalah Alquran mengajak masyarakat untuk berpikir objektif tentang khamr dan darimana asalnya. Dalam QS An Nahl ayat 67, dijelaskan bahwa anggur yang menjadi asal usul pembuatan khamr adalah tanaman yang halal dan rezeki yang baik. Manusialah yang kemudian memproduksi anggur menjadi khamr yang memiliki sifat memabukkan. Dengan demikian, Khamr adalah minuman buatan manusia dan memiliki mafsadah bagi mereka sendiri.
  2. Tahap kedua, Alquran memberikan gambaran diametric antara kemaslahatan dan kemafsadatan dari khamr (QS. Al Baqarah 219). Masyarakat Arab meyakini bahwa dalam khamr ada kemanfaatannya bagi mereka, namun Alquran menunjukkan bahwan kerugiannya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Dalam konteks sekarang, beberapa kalangan menilai bahwa berdirinya outlet minuman keras juga memiliki manfaat seperti membuka lapangan pekerjaan dan menambah pendapatan asli daerah. Padahal daya rusaknya, baik bagi individu maupun masyarakat sangat besar, tidak sebanding dengan kemanfaatannya. Oleh karena itu, dengan dasar kaidah dar’ul mafasid muqaddamun `ala jalbil mashalih (menolak kemafsadatan harus didahulukan dari mengambil kemaslahatan), penjualan minuman keras tetap harus dilarang.
  3. Tahap ketiga, Alquran membatasi lingkup kebolehan meminum khamr, sebagaimana terdapat dalam QS An Nisaa 43. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa terdapat larangan melaksanakan salat dalam keadaan mabuk (akibat minum khamr). Pembatasan ini merupakan upaya Alquran melokalisir tradisi minum khamr di masyarakat. Jika dikontekskan pada masyarakat sekarang, maka limitasi peredaran minuman keras diatur dalam Peraturan Daerah dengan adanya penggolongan jenis minuman beralkohol, pembatasan tempat menjualnya, dan sebagainya.
  4. Tahap keempat, melarang secara tegas mengkonsumsi khamr, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al Maidah ayat 90-91. Dalam ayat 91, khamr dikategorikan sama dengan judi (maisir), berkorban untuk berhala (anshab) dan mengundi nasib dengan anak panak (azlam). Keempat perbuatan tersebut memiliki kesamaan mafsadah, yakni menghilangkan fungsi akal (hifz aql). Orang yang meminum khamr, berjudi, menyembah berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah orang yang kehilangan akal sehatnya. Dalam ayat 91 juga ditegaskan bahwa prbuatan-perbuatan tersebut termasuk perilaku syetan, dan berdampak pada kerusakan pribadi dan sosial.

Prof. Ali juga menjelaskan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Alquran tersebut juga dirinci dalam hadis. Beberapa hadis Nabi memberikan penjelasan (bayan tafsir) terhadap hukum khamr, yaitu: Allah melaknat khamr, peminumnya, penyajinya, pedagangnya, pembelinya, pemeras bahannya, penyimpannya, pembawanya dan penerimanya (HR Ahmad dan Thobroni), Setiap minuman yang memabukkan adalah haram (HR Bukhari), Sesuatu yang jika banyak memabukkan, maka meskipun sedikit adalah haram, Jauhilah khamr karena ia adalah kunci keburukan (HR Al Hakim). Dari kedua sumber hukum Islam ini, jelas bahwa hukum khamr adalah haram.

Dalam konteks masyarakat Indonesia, MUI telah menetapkan beberapa fatwa yang berkaitan dengan minuman keras, yakni: Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Hukum Alkohol yang memutuskan bahwa meminum minuman beralcohol adalah Haram. Fatwa MUI No. 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol, yang menetapkan bahwa Minuman yang mengandung alcohol minimal 0,5 % masuk kategori khamr. Fatwa MUI No. 11 Tahun 2018 tentang Produk Kosmetika yang Mengandung Alkohol/Etanol, dan Fatwa MUI Nomor 40 Tahun 2018 tentang Penggunaan Alkohok/Etanol untuk Bahan Obat.

Liputan Terpopuler