Menggagas Fikih Agraria di Indonesia
Para peserta, panitia, dan narasumber foto bersama usai diskusi
MENGGAGAS FIKIH AGRARIA DI INDONESIA
Desain fikih agraria dapat dirumuskan dengan menggunakan landasan normatif ajaran Islam dan melihat kembali rumusan-rumusan para fuqaha tentang pertanahan dalam kitab-kitab fikih. Beberapa hal penting yang menjadi dasar penyusunannya adalah pembahasan tentang: (1) Konsep Islam tentang Alam semesta (Penciptaan alam, keteraturan alam dan sosial, fungsi khalifah/pemerintah); (2) Islam dan Lingkungan Hidup (visi islam, kesatuan sistem, pemeliharaan dan pemanfaatan lingkungan hidup); (3) Pengelolaan Tanah pada Masa Klasik (wakaf individu, Baitul mal, wakaf milik negara); (4) Hak Kepemilikan Tanah (individu, umum, negara); (5) Pengelolaan Tanah (ihyaul mawat, iqtagul mawat, himaul mawat, haqq al-irtifaq –pemanfaatan benda tak bergerak); (5) Fungsi sosial tanah (batasan hak milik individu, wakaf, kewenangan negara); dan (6) Problematika Hukum Agraria (penguasaan tanah adat, pengelolaan hutan oleh swasta, alih fungsi hutan untuk perkebunan).
Demikian paparan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag, ketika menjadi narasumber dalam Ramadhan Talk dengan tema “Menggagas Fikih Agraria di Indonesia”. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama Prodi Doktor Ilmu Syari’ah dengan AFTA Law School Yogyakarta. Selain Prof. Ali, kegiatan ini juga menghadirkan narasumber lain, yaitu Dr. Abdul Mughits, M.Ag, pakar hukum ekonomi syari’ah. Kegiatan diskusi ini berlangsung pada hari Jum’at, 22 Maret 2024, mulai pukul 15.30 – selesai dan bertempat di Hotel Grand Rohan Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti oleh para peserta dari AFTA Law School dan mahasiswa S3 Ilmu Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Diskusi diawali dengan sambutan dari Pembina AFTA Law School, Dr. Agus Suprianto, S.HI, S.H., MSI., CM. Dalam sambutannya Dr. Agus menyampaikan pentingnya membahas fikih agraria di Indonesia sehubungan dengan minimnya kajian terhadap undang-undang Agraria. Padahal persoalan yang menyangkut masalah agrarian cukup kompleks dan bervariasi sehingga perlu membahasnya dari perspektif fikih. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Thalis Noor Cahyadi, S.H, M.H, Direktur AFTA Law School. Dalam pengantar diskusinya, Dr. Thalis menjelaskan bahwa kontribusi fikih sangat diharapkan dalam penyusunan hukum agraria di Indonesia. Selama ini, undang-undang agraria mengalami tambal sulam secara ad hoc, dan minim sosialisasi. Tidak jarang ada perubahan aturan dalam hukum agraria yang tidak diketahui oleh para penegak hukum.
Menurut Prof. Ali, dalam perumusan fikih agraria perlu melakukan analisis terhadap nash, qaul fuqaha, dan juga legal maxims (kaidah fiqhiyah) sebagai landasannya. Masalah pertanahan merupakan masalah mualamalah yang memerlukan ijtihad karena keterbatasan nash yang menjelaskan masalah tersebut. Nash hanya menyebutkan prinsip-prinsip umumnya, sehingga detil aturannya memerlukan ijtihad para ulama. Secara umum, Islam mengenal tiga jenis kepemilikan, yaitu: kepemilikan pribadi (private ownership), kepemilikan umum (public ownership), dan kepemilikan negara (state ownership). Sedangkan model kepemilikan tanah dikenal melalui tiga kategori: (1) Al-istila’al mubah: menghidupkan lahan mati/non produktif; (2) `Uqud: melalui akad jual beli yang sah; dan (3) Khalafiyyah: melalui pergantian status kepemilikian yang sah, seperti warisan, ganti rugi, dan sebagainya.
Dalam hal pemanfaatan lahan, menurut Prof. Ali, Islam mengenal tiga jenis pengelolaan lahan, yaitu: Ihyaul mawat, Iqtha`ul mawat dan Himaul mawat. Ihyaul mawat adalah pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini, seseorang mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang telah melakukannya dapat memiliki lahan tersebut. Pembukaan lahan untuk pemukiman (transmigrasi), yang akan menjadi hak miliki bagi penduduk transmigrasi merupakan contoh kontekstual tentang ihyaul mawat. Pemerintah memiliki wewenang menetapkan lokasi dan peruntukannya.
Iqtha`ul mawat adalah pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu, untuk menempati dan memanfaatkan sebuah lahan, adakalanya untuk dimiliki, atau hanya untuk dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu. Pemanfaatan dengan cara ini bisa berkonsekuensi adanya kepemilikan dan bisa juga berarti pemberian wewenang pengelolaan. Terdapat dua model pengelolan dalam iqtha`ul mawat: pertama, pemerintah memberi hak pada seseorang untuk mengelola dan memfungsikan sebuah lahan di tempat umum seperti pasar, masjid dan semacamnya, dan kedua, pemerintah memberi jatah lahan pada tanah mawat untuk dikelola dan dimanfaatkan, baik itu berupa lahan tambang, Iadang, kebun atau hutan. Misal: pemerintah memberikan Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pengolahan Hutan (HPH) kepada sebuah perusahaan dapat dibenarkan.
Himaul mawat adalah pemerintah menetapkan suatu area untuk dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks dulu, difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan zakat dan lainnya. Lahan sebagai himaul mawat, hak kepemilikannya ada pada negara. Model Himaul Mawat adalah (1) kebijakan pemerintah untuk membuat kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah penyangga serta sebagai paru-paru kota; (2) penetapan beberapa kawasan sebagai hutan lindung yang berfungsi sebagai cagar alam. Dasar pengelolaan adalah maslahah sesuai kaidah konservasi; yaitu tidak mengubah peruntukan, tidak merusak, dan tidak mengganggu siklus ekologi.