Pernikahan Beda Agama: Perspektif Kebhinnekaan

Talkshow Pernikahan Beda Agama
PERNIKAHAN BEDA AGAMA: PERSPEKTIF KEBHINNEKAAN
Dalam Alquran terdapat dua ketentuan hukum dalam masalah pernikahan beda agama, yaitupertama,laki-laki muslim boleh menikahi perempuan ahlul kitab (Al Maidah :5), dankedua, perempuan muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non muslim (Al Mumtahanah : 10). Para ulama kemudian melarang pernkahan beda agama secara umum, baik bagi laki-laki maupun perempuan muslim. Demikian penjelesan yang disampaikan oleh Prof. Drs. Ratno Lukito, M.A, DCL, Dosen Prodi S3 Ilmu Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada talk show yang berjudul “Pernikahan Beda Agama: Kebhinnekaan dalam Pasungan?”. Acara ini diiselenggarakan oleh Radio Katolikana dan disiarkan secara live pada hari Senin, 14 Februari 2022, mulai jam 20.00 WIB hingga selesai. Selain Prof. Ratno Lukito, hadir sebagai narasumber dalam acara ini adalah Pendeta Albertus Patty, dari Gereja Kristen Indonesia di Bandung, dan juga Endang Retno Lastani, Pengurus Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Jakarta.
Menurut Prof. Ratno, yang juga Guru Besar Perbandingan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini, pernikahan beda agama merupakan problem laten dan lama. Dalam perspektif hukum negara juga belum ada ketegasan hukum dan kembali kepada tafsir dan aturan lainnya. Dalam Undang-Undang Perkawinan misalnya, tidak dijelaskan secara tegas tentang hukum pernikahan beda agama. Penafsiran tentang pernikahan beda agama biasanya mengacu kepada ketentuan pasal 2 ayat 1 UUP tersebut, yang berbunyi: “perkawinan adalah sah jika dilaksanakan berdasarkan hukum agama masing-masing”. Keabsahan berdasarkan hukum agama inilah yang menjadi muara keharusan pernikahan seagama, dan ketidakabsahan pernikahan beda agama. Dalam pasal 57 UUP memang ada aturan tentang perkawinan campuran, tetapi yang dimaksud dalam aturan tersebut adalah perkawinan antara WNI dengan WNA. Aturan yang secara jelas mengatur pernikahan beda agama adalah Pasal 40 dan 44 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa orang Islam dilarang melakukan perkawinan dengan non muslim. Aturan ini berlaku khusus bagi umat Islam, dan tidak berlaku bagi pemeluk agama lain di Indonesia.
Berdasarkan realitas hukum ini, para ahli hukum di Indonesia memiliki perbedaan pendapat tentang hukum pernikahan beda agama di Indonesia, yaitu ; (1) tidak mungin dilakukan (pasalnya jelas); (2) Dilarang, karena ada keharusan kesamaan agama untuk keabsahannya; (3) Dapat dilakukan dengan perjanjian terlebih dahulu; dan (4) Boleh berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia. Ketika moderator menanyakan, apa faktor yang menjadikan adanya larangan pernkahan beda agama, Prof Ratno menjelaskan bahwa ada du faktor utama.Pertama,adanya kecurigaan para pemeluk agama, yang diakibatkan adanya kesulitan interaksi dengan pemeluk agama lain, terutama dalam hal pernikahan.Kedua,ketidakjelasan aturan Undang-undang. UUP harus diamandemen, terutama pasal 2 ayat 1, karena undang-undang tersebut belum mengakomodir kebhinnekaan.
Narasumber kedua, Endang Retno Lasanti, berasal dari Pengurus MLKI Jakarta. Sebagai penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Retno menjelaskan tentang bagaimana hukum pernikahan beda agama di kalangan mereka. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2021, perkawinan penghayat adalah sah jika dilakukan di depan pemuka penghayat dan pencatatan pernikahannya dilakukan di Kantor Catatn Sipil. Di kalangan penghayat, ada dua pendapat tentang hukum perkawinan beda agama.Pertama,tidak melarang perkawinan beda agama. Alasannya, Tuhan adalah Maha Tunggal dan menganugerahkan cinta kasih yang tidak ada batasannya. Perkawinan adalah buah dari rasa cinta sehingga tidak membedakan agama, suku, maupun ras.Kedua,berpendapat tidak boleh atau melarang perkawinan beda agama. Hal ini disebabkan adanya larangan dari ajaran agama lain dan juga adanya kebingungan dalam keluarga setelah terjadinya perkawinan. Narasumber juga mempertanyakan mengapa negara harus mempermasalahkan perkawinan beda agama. Harusnya negara menghormati hak warga negara untuk membentuk keluarga dan menghargai agama warga negaranya. Negara bertugas melayani warga negara, soal larangan perkawinan beda agama diserahkan kepada agama masing-masing. Negara tidak boleh membuat auran yang memasung kebhinnekaan warga negaranya.
Narasumber ketiga adalah Pendeta Albertus Patty. Menurut narasumber, dalam ajaran Kristen ada dua pendapat tentang perkawinan beda agama.Petama,tidak setuju karena perkawinan adalah masalah keimanan, soal keyakinan dan adanya aturan negara yang melarangnya.Kedua,setuju dengan perkawinan beda agama. Alasannya: Tuhan itu satu, kemanusiaan juga satu, mengapa perkawinan diantara manusia harus dilarang? Agama mestinya menyatukan kemanusiaan, menjaga kohesivitas sosial, bukan malah memecahnya melalui pemasungan hak. Narasumber juga menunjukkan adanya bukti-buki perkawinan beda agama yang terekam dalam Al Kitab, seperti perkawinan Musa, Yusuf, Samson, Solomon, dan lain lain. Bahkan Yesus sendiri, menurut narasumbr, adalah keturunan dari perkawinan beda agama. Oleh karena itu, narasumber menyarankan agar pemerintah menyediakan undang-undang yang realistis dengan kebhinnekaan warga negaranya.