Nikah Siri dalam Perspektif Feminisme

Siti Jahroh sedang mempresentasikan papernya di Seminar Nasional tentang Perkawinan
NIKAH SIRI DALAM PERSPEKTIF FEMINISME
Feminisme berasal dari bahasa latin “femina”, yang artinya memiliki sifat keperempuanan. Sehingga secara bahasa, feminisme dapat diartikan sebagai gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme sendiri diawali oleh ketimpangan posisi perempuan dibandingkan laki-laki. Perempuan berada pada posisi di bawah laki-laki, baik dalam hak maupun kewajiban. Dalam masyarakat Islam, juga muncul gerakan feminisme. Feminisme Islam mendasarkan gagasannya pada ajaran Islam yang humanis, inklusif dan egaliter. Feminisme Islam berupaya memberdayakan perempuan secara spiritual dan moral, menghapus ketidakadilan, dan mempromosikan kesetaraan gender dalam seluruh bidang kehidupan.
Demikian paparan yang disampaikan oleh Siti Jahroh, M.S.I., kandidat Doktor Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, pada seminar nasional yang bertajuk “Problematika Syarat Poligami yang Berimplikasi terhadap Maraknya Nikah Siri dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif, dan Feminisme”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada hari Sabtu, 20 Mei 2023. Seminar perkawinan ini berlangsung di Ruang Teatrikal mulai jam 08.00 – selesai. Narasumber lain yang juga hadir di Seminar ini adalah Prof. Dr. H. Agus Moh. Najib, M.Ag, Dosen Prodi S3 Ilmu Syari’ah.
Menurut Siti Jahroh, kajian utama feminisme adalah persoalan ideologi patriarkhi yang dianggap sebagai asal-usul dari seluruh ketimpangan dan ketidakadilan gender serta munculnya kecenderungan misoginis yang mendasari penulisan dan pemahaman teks-teks keagamaan (fikih munakahat). Berangkat dari titik inilah kaum feminis kemudian berusaha ‘keluar’ dari kungkungan budaya patriarkhi. Selanjutnya mereka melakukan upaya-upaya pembaruan pemikiran dalam bidang kajian hukum perkawinan Islam. Titik berangkat dan kesadaran feminis Islam tersebut kemudian tergerak untuk melakukan pembacaan ulang (reinterpretasi) terhadap berbagai sumber rujukan pemahaman agama, budaya, dan ideologi patriarki yang dipedomani masyarakat secara luasjuga melakukan aksi-aksi sosial-advokatif guna mengatasi berbagai bentuk ketidakadilan terhadap perempuandan anak melalui berbagai lembaga swadaya masyarakat.
Pada dasarnya perkawinan adalah legalitas untuk menyatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri sesuai dengan prosedur negara. Adapun salah satu jenis perkawinan yang tidak memenuhi legal procedure yaitu kawin siri. Perkawinan siri ada beberapa macam, pertama, perkawinan tanpa wali. Perkawinan semacam ini kadang dilakukan secara rahasia atau siri, sebab wali perempuan mungkin tidak setuju atau mungkin pula karena keabsahan perkawinan dianggap belum terpenuhi. Perkawinan seperti ini tidak sah, sebab wali merupakan rukun sah nikah.
Kedua, perkawinan yang secara agama sah namun tidak dicatatkan dalam lembaga negara. Perkawinan ini kan secara agama sah, akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang perkawinan tersebut tidak sah. Ketiga, perkawinan yang sengaja dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu. Contohnya, perkawinan yang dilakukan secara rahasia karena takut memperoleh stereotip dari masyarakat yang sudah terlanjur menganggap suatu perkawinan siri itu tidak baik.
Dalam pandangan Siti Jahroh, kawin siri memiliki banyak mafsadat daripada kebaikannya. dan yang paling dirugikan dalam hal ini adalah perempuan dan anak. Kawin siri yang secara hukum negara tidak sah ini menyebabkan perempuan dan anak tidak bisa memperoleh haknya. Misalnya terkait harta gono-gini, apabila suatu saat terjadi perceraian sebab apapun yang terjadi perkawinan itu akan dianggap tidak pernah terjadi oleh hukum. Selain itu dalam pandangan sosial seorang perempuan dan laki-laki yang melakukan kawin siri seringkali dianggap melakukan kumpul kebo. Sebab pada dasarnya mereka tinggal dalam satu atap dan tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah.
Mafsadah lainnya,anak-anak yang lahir dari hasil kawin siri akan kesulitan jika berhadapan langsung dengan ranah hukum. Dalam hukum status anak akan dianggap tidak sah karena secara garis keturunan hanya akan digariskan pada ibu saja. Seorang anak yang demikian tidak memiliki hubungan hukum dengan sang ayah sehingga tidak bisa menuntut hak nafkah, biaya pendidikan ataupun warisan dari ayah itu. Kasus lebih rumitnya adalah sang anak juga tidak bisa mendapatkan akte kelahiran yang nantinya akan menjadi dokumen resminya nanti.