Pendidikan Karakter Remaja dalam Barak Militer

PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA DALAM PERSPEKTIF PERKEMBANGAN MORAL LAWRANCE KOHLBERG

Program barak militer yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang dikenal dengan Kang Dedi Mulyadi (KDM) merupakan sebuah inovasi pendidikan karakter. Hal ini sebagai jawaban inovatif atas krisis karakter remaja, memadukan kedisiplinan militer dan sentuhan kemanusiaan. Program barak militer juga merupakan laboratorium moral yang menyatukan nilai sosial, spiritual, dan nasionalisme, mendorong transformasi perilaku mendalam. Dalam teori Kohlberg, program ini mengkatalisasi perjalanan moral dari tahap pra-konvensional menuju pasca-konvensional, menumbuhkan kesadaran moral internal.

Demikian pemaparan yang disampaikan oleh Nurmu’izzatin Zaharatul Parhi, mahasiswa Program Doktor Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, dalam kegiatan The 5th Graduate International Conference (GIC). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pascasarjana UIN Mataram pada tanggal 26 Juni 2025. Dalam konferensi ini, Nur Muizzatin berkolaborasi dengan Arif Sugitanata, mempresentasikan papernya dengan judul “Pendidikan Karakter Remaja Dalam Barak Militer: Telaah Kritis Gagasan Kang Dedi Mulyadi Melalui Perspektif Perkembangan Moral Lawrance Kohlberg”.

Transformasi karakter dalam perspektif Kohlberg memiliki tiga tahapan, yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca konvensional. Pra-Konvensional: baik dan buruk diukur dari hukuman atau hadiah, menghindari perilaku buruk karena takut dimarahi. Konvensional: memahami pentingnya norma sosial, menjadi "anak baik" sebagai bagian dari sistem yang dihargai, timbul rasa tanggung jawab sosial. Pasca-Konvensional: nilai diyakini sebagai prinsip universal, bukan karena sistem, melahirkan kesadaran batin untuk memberi makna bagi orang lain.

Menurut Muizzatin, krisis karakter yang melanda remaja Indonesia menuntut pendekatan baru dalam pendidikan karakter. Program barak militer yang digagas oleh Kang Dedi Mulyadi, menawarkan solusi inovatif. Krisis karakter ini disebabkan oleh: peningkatan penyalahgunaan narkoba, paparan konten negatif seperti konten asusila dan kekerasan di media sosial membentuk pola pikir permisif dan menurunkan sensitivitas moral remaja. Oleh karena itu, pendidikan karakter mendesak untuk menanamkan kembali nilai-nilai integritas, tanggung jawab, dan empati sebagai bekal hidup.

Pendidikan karakter harus menjadi ruh dari seluruh proses pembelajaran, bukan sekadar "muatan lokal" atau nilai tambahan dalam kurikulum. Setiap interaksi dan aktivitas di sekolah harus mengandung unsur penanaman nilai, pembentukan sikap, dan penguatan kepribadian remaja. Pendidikan karakter menjadi kompas moral, yakni membentuk manusia muda dengan kompas moral yang kokoh, integritas teruji, dan kepekaan sosial untuk kontribusi positif.

Hal yang tidak kalah penting adalah peran keluarga dan masyarakat. Keluarga adalah institusi pendidikan karakter pertama dan utama, tempat nilai-nilai dasar seperti kejujuran dan disiplin diperkenalkan. Pendidikan karakter harus menjadi sinergi antara keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial yang lebih luas, termasuk masyarakat. Masyarakat harus ambil bagian dalam bentuk budaya kolektif yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan, bukan hanya program formal.Muizzatin menegaskan pentingnya pendekatan humanistic melalui metode dialogis dan pemulihan psikososial dan penguatan motivasi hidup, termasuk konseling kelompok dan terapi seni.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler