Promosi Doktor Keenam Prodi S3 Ilmu Syari'ah

KONSTRUKSI DAN INTERPRETASI HUKUM KONSEP NUSYUZ DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN

Satu lagi mahasiswa Prodi S3 Ilmu Syari’ah lulus promosi doktor. Dia adalah Nor Annisa Rahmatillah, yang hari ini, Selasa 6 Februari 2024,berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Konstruksi dan Interpretasi Hukum Konsep Nusyuz Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jawa Timur”pada Ujian Terbuka Promosi Doktor. Tim Penguji terdiri dari: Prof. Dr. Drs. H. Makhrus, S.H., M.Hum (Ketua Sidang), Dr. H. Abdul Mujib, M.Ag (Sekretaris Sidang), Prof. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D (Promotor/Penguji), Dr. Ahmad Bunyan Wahib, M.A (Co-Promotor/Penguji), Prof. Dr. H. Riyanta, M.Hum (Penguji), Prof. Dr. H. Khoiruddin, M.A (Penguji), Prof. Dr. Hj. Nurun Najwa, M.Ag (Penguji), dan Penguji eksternalnya adalah Prof. Muhammad Abdun Nasir, M.A., Ph.D dari UIN Mataram. Ujian dilaksanakan di Ruang Teknoklas mulai pukul 09.00 hingga selesai.

Dalam presentasinya Nor Annisa menjelaskan bahwa Konsep nusyuz disebutkan dalam pasal 84, 149 dan 152, Kompilasi Hukum Islam(KHI). Pasal-pasal nusyuz tersebut dianggap mengandung bias gender, dikarenakan pasal-pasal tersebut hanya mengatur tentang nusyuz-nya istri. Hal ini disebabkan konsep nusyuz dalam KHI merujuk pada ketentuan fikih klasik yang cenderung memaknai nusyuz sebagai pembangkangan istri terhadap suami dalam relasi keluarga. Mengingat KHI merupakan sumber acuan utama para hakim dalam memutus perkara, putusan para hakim dalam perkara perceraian yang mengandung unsur nusyuz menunjukan adanya bentuk diskriminasi terhadap perempuan, mengabaikan secara umum kemungkinan adanya nusyuz para suami. Penelitian ini mengkaji cara pandang dan praktik hukum para hakim terkait konsep nusyuz, dengan menekankan pada tiga permasalahan kajian, yaitu respon hakim terhadap konsep nusyuz yang digulirkan para tokoh penggiat hak-hak perempuan, interpretasi para hakim terhadap konsep nusyuz dalam penyelesaian perkara perceraian dan hal-hal yang mempengaruhi perbedaan pemahaman para hakim dalam memutus perkara perceraian yang berkaitan dengan nusyuz.

Berdasarkan hasil penelitiannya, promovenda menemukan:pertama, Nusyuz dalam KHI yaitu istri yang tidak taat dan berbakti kepada suami. Menurut tokoh feminis mulim Indonesia seperti Faqihuddin Abdul Kodir, Siti Musdah Mulia dan Zaitunah Subhan, konsep nusyuz dalam KHI masih bersifat bias gender. Oleh sebab itu, mereka membuat wacana baru terhadap konsep nusyuz, yaitu tindakan melalaikan kewajiban dalam rumah tangga, tindakan tersebut dapat dilakukan oleh istri dan suami. Hakim Pengadilan Agama Jawa Timur memiliki pendapat yang berbeda dalam memaknai konsep nusyuz. 11 (sebelas) orang hakim berpendapat bahwa nusyuz hanya dapat disematkan pada istri, menurut mereka nusyuz merupakan kedurhakaan dan ketidaktaatan istri pada suami. 3 (tiga) orang hakim yang lain berpendapat bahwa nusyuz dapat disematkan pada suami dan istri. Pendapat hakim Pengadilan Agama Jawa Timur terhadap konsep nusyuz secara dominan masih konservatif, hal ini pengaruhi oleh sumber rujukan yang digunakan yaitu KHI dan fikih klasik. Meskipun para hakim tidak setuju jika istilah nusyuz disematkan pada suami, namun mereka tidak menolak jika suami melalaikan kewajiban dalam rumah tangga. Faktanya mereka sepakat dengan ketentuan Pasal 5 huruf (d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dengan demikian, hakim Pengadilan Agama Jawa Timur memberikan respon yang progresifterhadap konsep nusyuz yang digulirkan oleh tokoh feminis.

Kedua, Sebelum memutus perkara yang terindikasi nusyuz, para hakim melakukan penggalian dan penghayatan yang mendalam terhadap perkara tersebut. Penghayatan dilakukan dengan cara melihat dalil-dalil dalam duduk perkara, melihat pada alat bukti, melihat pada pengakuan para pihak dan melihat pada keterangan para saksi. Kemudian sebelum menetapkan nusyuz, para hakim melakukan interpretasi. Interpretasi para hakim dalam memaknai konsep nusyuz merujuk pada KHI Pasal 83 ayat (1), Pasal 84 ayat (1), Pasal 152, pendapat ahli fikih Sayid Bakri bin Sayid Muhamad Syatho’ Addimyathy dalam kitab I’anatut Thalibin dan kitab fikih Al-Iqna. Jika semua itu telah berkesuaian antara satu dan yang lain, maka hakim menilai berdasarkan pengatahuan dan pengalamannya, lalu hakim akan memutus perkara tersebut. Langkah hakim melakukan penghayatan dan interpretasi sebelum memutus perkara bertujuan untuk memberikan keadilan dan memberikan ketertiban. Hal ini sebagaimana yang penulis temukan dalam putusan nomor 3926/Pdt.G/2019/PA/Jr dan putusan nomor Bojonegoro nomor 2209/Pdt.G/2021/PA.Bjn, pada putusan tersebut majelis hakim menghukumi suami nusyuz. Adapun akibat hukum dari penetapan nusyuz istri yaitu hilangnya hak nafkah idah, nafkahmāḍiyahdan hak asuh anak. Sebagaimana putusan nomor 0295/Pdt.G/2020/PA.Kab.Mn hilang hak nafkahmāḍiyah, putusan nomor 0703/Pdt.G/2020/PA.BL hilang hak nafkah idah, nafkahmāḍiyahdan mutah, putusan nomor 542/Pdt.G/2018/PA.Sby hilang hak nafkah idah, nafkahmāḍiyahdan hak asuh anak, putusan nomor 1825/Pdt.G/2019/PA.TA hilang hak nafkah idah dan nafkahmāḍiyah. Pada putusan cerai gugat nomor 5144/Pdt.G/2018/PA.Sby hilang hak nafkahmāḍiyah. Dalam pertimbangan hukum pada putusan nusyuz istri terdapat tiga aspek, yaitu yuridis, filosofis dan sosiologi. Namun dalam putusan tersebut majelis hakim lebih mengedepankan aspek filosofis.

Ketiga, Perbedaan pemahaman hakim Pengadilan Agama Jawa Timur terhadap konsep nusyuz dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu pendidikan, cara memaknai konsep nusyuz, dominasi fikih klasik terhadap sakralitas konsep nusyuz dan mapannya konsep taat. Cara pandang mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pemahaman hakim daripada tingkat pendidikan. Adapun yang mempengaruhi cara pandang tersebut yaitu sumber rujukan yang para hakim gunakan. Sumber rujukan para hakim terhadap konsep nusyuz yaitu KHI dan fikih klasik. Konsep nusyuz dalam KHI merupakan hasil adopsi dari fikih klasik yang bermazhab Syafi’i. Konsep nusyuz di Indonesia dipersempit pada istri, karena kataqanitatdalam surah An-Nisa’ ayat 34 sering diartikan sebagai ketaatan istri terhadap suami, sehingga ketika istri tidak mentaati atau melalaikan kewajiban terhadap suami dianggap nusyuz. KHI tidak mengatur tentang nusyuz suami, oleh sebab itu tokoh feminis muslim Indonesia dan beberapa orang hakim Pengadilan Agama Jawa Timur menginginkan agar Indonesia melakukan pembaruan terhadap konsep nusyuz. Namun untuk dilakukannya pembaruan konsep nusyuz terdapat beberapa kendala, diantaranya belum ditemukannya akibat hukum apabila nusyuz disematkan pada suami. Karena aturan perundang-undangan di Indonesia telah memiliki aturan hukum tersendiri bagi suami yang melakukan pelalaian nafkah terhadap istri. Adapun aturan tersebut terdapat dalam Kompialasi Hukum Islam Pasal 116, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 49 dan SEMA Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

Berdasarkan hasil Yudisium,promovenda Nor Annisa Rahmatillah dinyatakan lulus dengan predikat CUMLAUDE, dengan masa studi 3 tahun 11 bulan 30 hari dan IPK 3,94.

Selamat dan sukses Dr. Nor Annisa Rahmatillah, S.HI, M.HI atas pencapaian gelar akademik tertinggi.

Berita Terkait

Berita Terpopuler