Pemanfaatan Kecerdasan Artifisial dalam Bidang Hukum Islam

PEMANFAATAN KECERDASAN ARTIFISIAL (ARTIFICIAL INTELLIGENCE) DALAM BIDANG HUKUM ISLAM

Oleh: Nurochman
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Syari’ah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Kecerdasan Artifisial (Artificial Intelligence atau disingkat AI) merupakan sebuah sistem komputer yang diprogram untuk bisa meniru cara berpikir manusia dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Konsep AI diperkenalkan pertama kali pada tahun 1950 oleh Alan Turing dalam tulisannya “Computing Machinery and Intelligence” dengan Turing’s Test-nya. Turing’s Test adalah sebuah test yang menentukan apakah suatu mesin mampu menunjukkan perilaku cerdas yang mirip dengan atau tak dapat dibedakan dari manusia. Jika respon dari mesin komputer tidak lagi bisa dibedakan dengan respon dari manusia, maka dapat disimpulkan bahwa mesin komputer sudah memiliki kecerdasan. AI merupakan salah satu temuan manusia yang berhasil merevolusi cara manusia dalam melakukan kegiatan industri sehingga bersama teknologi Internet of Things(IoT) telah melahirkan Revolusi Industri 4.0 yang saat ini telah mendistrupsi berbagai bidang kehidupan manusia.

Perkembangan AI saat ini sudah sedemikian pesat terlebih dengan adanya dukungan dari kemajuan perangkat keras komputer yang tumbuh secara eksponensial. Untuk dapat membuat komputer memiliki kecerdasan, komputer harus dilatih (training) menggunakan algoritma tertentu dengan sejumlah besar data-data latih (trainingdatasets). Proses pelatihan tersebut membutuhkan spesifikasi hardware komputer yang tinggi agar prosesnya berjalan dengan cepat. Temuan-temuan baru dari algoritma cerdas serta adanya trainingdatasets yang dibuat oleh para ilmuwan dan di-publish secara terbuka juga membuat AI dapat menyelesaikan banyak kasus pada berbagai bidang.

Pemanfaatan AI sudah merambah berbagai bidang kehidupan manusia meliputi bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, transportasi, lalu lintas, bahkan hingga ke bidang hukum. AI telah terbukti mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi pekerjaan manusia, bahkan pada beberapa bidang sudah dapat menggantikan peran manusia. Pada bidang hukum, AI dapat membantu praktisi hukum untuk men-generate kontrak yang sesuai kebutuhan. Selain itu AI Chatbots dapat memberikan legal advice awal bagi klien-klien yang secara geografis berada di tempat yang jauh, sehingga mereka tidak perlu bertemu langsung dengan lawyer.

AI Chatbots Pemberi Fatwa

Dalam bidang hukum Islam, AI juga telah dimanfaatkan untuk membangun sistem Chatbots yang mampu menghasilkan legal opinions atau fatwa dari permasalahan yang disampaikan oleh pengguna, yaitu khususnya masyarakat muslim. Pada dasarnya sebuah fatwa hanya dapat dikeluarkan oleh seorang Mufti yang memiliki kualifikasi tertentu. Untuk mencetak seorang Mufti tentu diperlukan proses pendidikan yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi internet, bisa saja dibangun website yang memungkinkan seorang Mufti melayani secara langsung pertanyaan tentang hukum Islam yang dikirimkan oleh seseorang, kemudian Mufti mengirimkan balik sebuah fatwa. Namun pada saat high seasons, seorang Mufti akan kewalahan melayani banyaknya pertanyaan yang masuk, misalnya pada musim Haji, Umrah, dan juga pada bulan Ramadan. Hal ini menuntut adanya sistem yang mampu mengotomasi proses tanya-jawab (Automated QA System) sehingga beban Mufti menjadi lebih ringan. SistemAutomated QA ditraining dengan data-data berupa kasus tanya-jawab (fatwa) yang pernah diberikan oleh Mufti di masa lalu. Pertanyaan yang datang berikutnya akan dijawab oleh sistem secara otomatis dengan melihat histori tanya-jawab yang telah disimpan di dalam database yang memiliki tingkat kesamaan (similarity) latar belakang penanya dan redaksi pertanyaannya. Setelah proses training selesai sistem akan diuji dengan memasukan sebuah pertanyaan, kemudian sistem akan mengeluarkan fatwa. Mufti perlu memberikan fatwa lagi jika kasus yang diberikan oleh pengguna merupakan kasus baru yang belum pernah ada dalam database. Fatwa atas kasus baru tersebut juga akan dilatihkan kembali ke sistem sebagai knowledge baru, sehingga di masa depan jika ada kasus serupa yang ditanyakan, sistem dapat memberikan fatwanya.

Sistem AI untuk Otomasi Qiyas

Qiyas merupakan salah satu metode dalam penetapan hukum Islam (istinbath al-hukm) yang menggunakan penalaran analogi (analogical reasoning) hukum. Dengan qiyas, umat Islam dapat menetapkan hukum dari suatu kasus baru yang belum memiliki ketetapan hukum di dalam Alqur’an, Hadis maupun Ijmak. Menurut Imam Syafi’I, yang dinamakan ijtihad itu adalah qiyas. Dengan metode qiyas, Imam Syafi’i ingin memberi jalan tengah kepada ulama yang tekstualis dan ulama yang mengandalkan akal dalam penetapan hukum. Metode qiyas membuat hukum Islam senantiasa dapat menjawab persoalan yang berkembang sepanjang zaman.

Qiyas sangat penting kedudukannya dalam penetapan hukum mengingat permasalahan yang dihadapi manusia, khususnya umat Islam, yang selalu berkembang, sedangkan nash Alqur’an dan Hadis terbatas jumlahnya. Di sisi lain syarat-syarat untuk seorang mujtahid yang berhak melakukan ijtihad tidaklah mudah, sehingga orang yang memenuhi syarat semakin sedikit jumlahnya. Melihat fenomena tersebut maka AI dapat dimanfaatkan untuk membangun program (software) komputer cerdas yang dapat meniru cara kerja para ulama sehingga proses qiyas dapat diotomasi.

Qiyas memiliki rukun-rukun yang harus dipenuhi yaitu: al-ashl, hukm al-ashl, al-far’ dan illat. Al-ashl adalah kasus yang sudah ada dalam nash. Hukm al-ashl merupakan hukum dari kasus yang sudah ada dalam nash. Illat adalah hujjah atau alasan dari penetapan hukm al-ashl. Sedangkan far’ adalah kasus baru yang belum memiliki ketetapan hukum dalam nash, yang akan diqiyaskan dengan mencari kesamaan illatnya dengan kasus pada al-ashl.

Case-based Reasoning (CBR) merupakan salah satu metode penalaran Artificial Intelligence(AI) yang sudah lama digunakan dalam dunia ilmu komputer. CBR melakukan penalaran untuk mencari solusi dari suatu kasus baru dengan mencari solusi dari kasus-kasus yang sudah diselesaikan di masa lalu dengan mencari kesamaannya (similarity). Kasus lama yang paling tinggi nilai kesamaannya akan diadaptasi solusinya kepada kasus yang baru. Metode CBR memiliki empat tahapan yaitu: retrieve, reuse, revise dan retain. Pertama adalah tahap mencari kasus dalam database yang paling mirip dengan kasus baru (retrieve). Kedua, informasi dan pengetahuan pada kasus tersebut akan digunakan kembali untuk menyelesaikan kasus baru (reuse).Ketiga, merevisi solusi yang lebih tepat untuk menyelesaikan kasus baru jika diperlukan (revise). Keempat, menyimpan pengalaman menyelesaikan kasus baru tersebut ke dalam database agar dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah di masa depan.

Berdasarkan cara kerjanya, CBR dapat dimanfaatkan untuk membangun sistem cerdas untuk mengotomasi qiyas. Langkah pertama yang dilakukan adalah membangun datasets berupa kumpulan al-ashl, hukm al-ashl dan illat kemudian merepresentasikan dan menyimpannya dalam sebuah database komputer sebagai original cases. Langkah kedua yaitu merancang dan mengimplementasikan sebuah algoritma untuk melakukan proses retrieve berdasarkan tingkat similarity illat antara far’ (new case) dengan al-ashl (original case). Langkah ketiga adalah reuse, yaitu menerapkan hukm al-ashl pada far’(hukm far’). Langkah keempat adalah revise, yaitu merevisi hukm far’ yang lebih sesuai dengan kasus far’. Hal ini dapat terjadi jika (misal secara sains) ada penemuan illat baru bagi far’yang berbeda dengan ‘illat ashl. Langkah kelima retain, yaitu menyimpan hukm far’ menjadin ew ashl. Hal ini berdasarkan pendapat Imam Al-Isnawi bahwa hukm far’ dapat menjadi rukun qiyas baru.

Program AI otomasi qiyas dapat membantu para ulama dalam melakukan qiyas dengan lebih cepat. Selain itu program ini juga dapat menjadi media pembelajaran qiyas bagi para pelajar maupun mahasiswa. Kelebihan program komputer dibanding ulama atau manusia ada pada availability dan reliability-nya. Program komputer akan selalu siap saat diperlukan dan ia akan selalu memberikan output yang stabil pada setiap saat. Sementara ulama adakalanya tidak dapat memberikan layanan dikarenakan sedang istirahat atau ada keperluan lain. Selain itu performa ulama sebagai manusia biasa juga tidak stabil, sehingga semakin lama bekerja akan semakin turun performanya sehingga dalam keadaan lelah dapat merespon secara tidak tepat.

Dengan menggunakan program AI untuk otomasi qiyas, bukan berarti kita menyerahkan keputusan hukum Islam kepada mesin. Mesin hanya bekerja berdasarkan algoritma yang diberikan oleh manusia sebagai programmer dan developer. Algoritma merupakan “pendapat” manusia. Ia merupakan hasil pemikiran manusia. Algoritma AI dibangun berdasarkan cara berpikir manusia, cara manusia menalar untuk menyelesaikan sebuah tugas atau pekerjaan, dan program otomasi qiyas ini harus dibangun dari cara ulama melakukan qiyas. Algoritmanya harus dibangun dari pendapat para ulama ahli hukum Islam (ushul fiqh) sehingga dengan menggunakan program AI kita tidak menyerahkan penetapan hukum Islam kepada mesin, tetapi kita hanya mencurahkan pemikiran dan pendapat para ulama untuk dapat memerintah mesin melakukan tugas atau pekerjaan yang kita inginkan.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler