Gagasan Hazairin tentang Hukum Kewarisan Islam Bilateral

GAGASAN HAZAIRIN TENTANG KEWARISAN ISLAM BILATERAL

Oleh:

Khairul Umami, Yusuf Anom Jay

The rules faraid are half of all knowledge, hukum waris adalah separuh dari seluruh ilmu. Demikian terjemahan dari hadis Nabi Muhammad Saw yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah. Hadis ini disampaikan oleh Prof Mark Cammack, BA, JD saat menjadi narasumber dalam kegiatan Research Talk, yang diselenggarakan oleh ISLaMS (Institute for the Study of Law and Muslim Society) bekerjasama dengan Program Studi Doktor Ilmu Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Prof. Mark mendiskusikan hukum kewarisan Islam di Indonesia dengan menguraikan pandangan seorang tokoh, yaitu Prof. Dr. Mr. Hazairin.

Prof Hazairin merupakan pakar hukum adat yang mencoba untuk memahami dan mengkontruksi hukum kewarisan Islam. Hazairin berpandangan bahwa hukum kewarisan Islam mencerminkan unsur budaya Arab yang bertitik tolak pada sistem kekerabatan patrilineal. Atas cara berfikir ini, Hazairin memandang bahwa di Indonesia yang secara aspek kekeluargaan bersifat majemuk, memerlukan suatu sistem yang mengakomodir semua kalangan. Pada umumnya Indonesia mengadopsi sistem kekerabatan matrilineal dan patrilineal. Matrilineal merupakan kekerabatan menurut garis keturunan perempuan, sedangkan Patrilineal berdasarkan garis keturunan laki-laki. Masyarakat Minangkabau misalnya, menerapkan garis keturunan matrilineal, sedangkan masyarakat Batak menerapkan garis keturunan patrilineal.

Masyarakat Minangkabau mengenal beberapa istilah berkaitan dengan harta, sako dan pusako. Sako merupakan warisan yang bersifat immateril (suku, gelar penghulu), sedangkan pusako merupakan warisan yang berbentuk materil. Harta Pusako terbagi menjadi dua, harta pusako tinggi dan harta pusako rendah. Harta pusako tinggi merupakan harta nenek moyang yang diwariskan kepada kaum perempuan menurut garis keturunan ibu. Harta tersebut tidak dimiliki oleh seseorang saja, melainkan milik kaum atau milik bersama. Sesuatu yang perlu digaris bawahi bahwa harta hak pakai pusako tinggi diberikan kepada kaum perempuan untuk mengelolanya. Hak atur atau mengulayat yang dipegang oleh laki-laki. Kemudian harta pusako rendah ialah harta yang didapatkan dari hasil pencarian orang tua yang diwariskan kepada anak sebagai ahli waris, yang pembagiannya dilakukan menurut hukum waris Islam. Sehingga tidak semata mata karena matrilineal, hukum kewarisan di Minangkabau secara keseluruhan diberikan kepada perempuan. Melainkan tetap terdapat hukum kewarisan Islam untuk harta pusako rendah.

Hukum kewarisan Islam di Indonesia terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pada waktu perancangan KHI terjadi beberapa dialektika, mengingat bahwa para perancang mencoba untuk mengadopsi konsep kewarisan Islam bilateral yang digagas oleh Hazairin dengan ciri khas mengutamakan kesetaraan. Hazairin mengusahakan akan terdapatnya kesetaraan antara pembagian waris di beberapa keadaan antara laki-laki dan perempuan. Menurut Prof. Mark, kewarisan bilateral Hazairin terdapat dalam Alquran, yang menyebutkan tiga kategori: pertama, Quranic Heirs (ahli waris menurut Al-Quran), kedua Blood Relations (hubungan darah), kemudian yang ketiga Representatives of pre-deceased (Mawali). Mawali atau ahli waris pengganti merupakan perwakilan dari ahli waris yang sudah meninggal dunia. Yang termasuk dalam golongan mawali ialah:

  1. Mawali bagi mendiang anak laki-laki atau perempuan dari garis keturunan laki-laki atau perempuan.
  2. Mawali untuk ibu, mawali untuk ayah dan mawali untuk saudara baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan ahli waris yang tidak lebih tinggi dari mereka. Ketentuan ini terjadi dalam keadaan kalalah. Yang termasuk dalam mawali golongan ini adalah saudara seibu mawaris untuk mawali ibu dan saudara seayah pewaris untuk mawali ayah.

Ide pembaharuan Hazairin tentang ahli waris pengganti pada hukum kewarisan memberikan sumbangsih pada KHI, sebagaimana terdapat pada pasal 185 KHI. Hal ini didasari oleh penafsiran baru Hazairin terhadap QS. An Nisa (4) ayat 33. Dalam praktik penyelesaian hukum waris di pengadilan agama, seringkali terjadi perbedaan di kalangan para hakim dalam memutuskan perkara. Tidak semua hakim sepakat dengan teori Hazairin, dan juga KHI tidak mengakomodir secara eksplist teorinya Hazairin, yang mengenalkan kewarisan bilateral dalam Alquran. Namun, kemunculan pandangan Hazairin menunjukkan adanya upaya mewujudkan kesetaraan dalam hukum Islam, khususnya dalam masalah kewarisan.

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler