Peran dan Partisipasi Pesantren dalam Pemilu Berintegritas

PERAN DAN PARTISIPASI PESANTREN DALAM PEMILU BERINTEGRITAS

Prestasi membanggakan ditorehkan oleh mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Adalah KH. Muhammad Syakur, MH., mahasiswa semester 3 Prodi Doktor Ilmu Syariah, didaulat menjadi salah satu narasumber dalam webinar yang bertajuk:“Partisipasi Kalangan Pondok Pesantren untuk Pemilu Berintegritas”. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Temanggung, Kantor Kementerian Agama Temanggung dan Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kabupaten Temanggung. Acara diselenggarakan secara online pada hari Kamis, tanggal 23 September 2021, mulai pukul 10.00 WIB hingga selesai. Peserta kegiatan ini terdiri dari para pengurus pondok pesantren di Kabupaten Temanggung dan masyarakat umum.

Dalam kegiatan tersebut, KH. Muhammad Syakur, yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Komunikasi Pondok Pesantren Temanggung memaparkan materi dengan judul “Partisipasi Pondok Pesantren dalam Mendukung Pemilu Berintegritas”. Menurutnya, peran pesantren dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia sangat diharapkan. Dukungan para pemangku agama bagi keberlangsungan demokrasi ini sangat penting, sebab dari pesantrenlah agama ini dikaji secara komprehensif, sehingga pemahaman tentang Islam dan negara tidak lagi menjadi batu sandungan bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Telah banyak contoh negara-negara yang ‘runtuh’ karena konflik yang disebabkan oleh paham radikal. Bentuk ideal suatu pemerintahan ‘khilafah’ yang mereka impikan justru telah menghancur leburkan tatanan peradaban yang tadinya sudah ada. Hal ini tidak boleh terjadi di bumi nusantara ini. Kalangan pesantren sudah lama memahami bahwa dalam Islam bentuk negara seperti apa tidak ditentukan baik oleh nash Alquran maupun Hadis.

Ulama’ telah banyak memberi kontribusi dalam mencegah pertumpahan darah di negeri ini. Mereka memahami bahwa kehidupan yang tertib dan damai adalah syarat mutlak bagi berlangsungan kehidupan beragama mereka. Fatwa untuk taat kepada pemimpin selalu disampaikan para ulama pesantren, sebab taat kepada pemimpin merupakan kewajiban syari’at, sepanjang tidak mengajak kepada kekufuran yang nyata. Dalam sebuah Riwayat Sahabat (al-atsar), disebutkan bahwa seorang imam yang zalim masih lebih baik dari pada fitnah yang berkepanjangan (tidak ada pemimpin/pemerintahan - Taqrirat Jauhar at-Tauhid, hal. 83.).

Pemilu merupakan infrastruktur utama bagi demokrasi yang telah menjadi pilihan bangsa Indonesia. Sistem demokrasi negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini adalah suatu pilihan yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa, ‘Founding fathers’ negara kita dan para Ulama’. Pemilu mempunyai nilai ajaran Islam, karena Pemilu merupakan sarana ‘Nasbu al Imam’ (mengangkat pemimpin) yang hukumnya wajib syar’iy. Mengangkat pemimpin yang hukumnya wajib ini berimplikasi pada status hukum infrastrukturnya ikutmenjadi wajib, berdasarkan kaidah fikih:

للوسائل حكم المقاصد

Hukum sarana sama dengan tujuannya

مالايتم الواجب الا به فهو واجب

Penyempurna sesuatu yang wajib, hukumnya ikut menjadi wajib

Dengan nilai-nilai Islami tersebut, maka berdemokrasi melalui pemilu dalam rangka mencari pemimpin yang adil adalah bagian dari ibadah.

Di akhir pemaparannya, KH. Muhammad Syakur menegaskan bahwa pesantren saat ini telah mendapat pengakuan lebih dari negara dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentangPesantrendan baru beberapa minggu lalu disusul Peraturan Presiden (perpres) Nomor 82 Tahun 2021Tentang Pendanaan dan Penyelenggaraan Pesantren. Undang-undang Pesantren tersebut merupakan kado ulang tahun bagi pesantren yang sebentar lagi akan kita peringati (HSN). Negara telah memberikan kepada pesantren 3 hal pokok yang krusial: Rekognisi, Afirmasi, dan Fasilitasi. Ketiga hal pokok ini bisa diperoleh pesantren melalui mekanisme politik yang telah melahirkan Undang-undang tersebut.

Teknologi saat ini tidak lagi mengenal batas dan globalisasi, umat manusia telah mengalami suatu fase baru yang secara dramatis oleh Kenichi Ohmae disebut sebagai pertanda berakhirnya (batas-batas) negara bangsa­­—the end of nation state. Artinya bahwa tidak ada lagi sekat-sekat negara-bangsa yang membatasi interaksi dan pergaulan manusia satu sama lain. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi Indonesia. Tuntutan kualitas dan hasil pemilu yang legitimate akan selalu datang dari negara-negara demokrasi lain yang senantiasa memantau dan melihat pesta demokrasi Indonesia dari segala sudut. Tidak ada lagi cara untuk meningkatkan kualitas demokrasi kecuali dengan menghindari dan menghapus stigma adanya pemilu berbau intimidasi, mobilisasi, pengaruh hoaks dan transaksional.Oleh karenanya, kalangan pesantren sudah seharusnya menjadiuswah(teladan) bagi kemajuan demokrasi di negara ini, dengan meningkatkan partisipasinya dalam pemilu yang berintegritas sebagai bagian dari khidmah pesantren kepada Agama, negara dan bangsa.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler