Hak Anak dan Dukungan Finansial Pasca Perceraian Orang Tua

HAK ANAK DAN DUKUNGAN KEUANGAN PASCA PERCERAIAN ORANG TUA

Reformasi hukum keluarga di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 1970 an, termasuk di dalamnya aturan untuk memberdayakan dan memberikan keadilan kepada anak. Beberapa aturan hukum ditetapkan seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP), Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), Undang-undang No. 23 Tahun 2002 dan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (UUPA), Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), dan peraturan lainnya seperti Surat Edaran Mahkamah Agung dan Keputusan Mahkamah Agung. Hak-hak anak pasca perceraian yang diatur dalam UUP dan KHI antara lain: hak pengasuhan, hak nafkah anak (hadhanah), hak pendidikan, yang semua itu menjadi kewajiban bapak dan ibunya untuk dipenuhi. Kewajiban lain bagi mantan suami dan isteri terhadap anak diatur dalam UUPA yaitu: (1) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (2) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; (3) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; dan (4) memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Demikiran pemaparan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A, Guru Besar sekaligus Dosen Program Doktor Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada International Conference Family Law (ICFL) yang di laksanakan pada tanggal 3-5 September 2024 di Selangor Malaysia. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Jabatan Kehakiman Syariah Malaysia dengan mengambil tema “Empowerment of Child Maintenance”. Dalam konferensi tersebut, Prof. Euis menyampaikan paper dengan judul: Children Rights and Financial Support After Parents’ Divorce In Indonesia: State’s Norms, Judges’ Decisions, and Actual Practices.

Menurut Prof Euis, besaran nafkah anak tidak ditentukan secara spesifik dalam undang-undang. Namun ada ketentuan yang berlaku bagi pihak ayah, seperti yang tertuang dalam PP No. 10 Tahun 1983 yang mengatur bagi Pegawai Negeri Sipil. Dalam pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa jika perceraian dimohonkan oleh suami, maka sebagian gaji diberikan kepada istri dan anak dengan pembagian 1/3 untuk suami, 1/3 untuk istri, dan 1/3 untuk anak atau anak. Untuk polisi ketentuannya adalah: 1/3 untuk anak/anak-anak (Pasal 26 ayat (3) huruf b Perkapolri 9/2010), sedangkan untuk Tentara besarannya berdasarkan keputusan hakim (Pasal 21 ayat (1) dan (2)Permenhan 31/2017).

Peraturan rinci secara umum mengenai besaran nafkah anak terdapat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 7/2012, yaitu berdasarkan kemampuan finansial suami dan atau gaji bersihnya. SEMA No. 3/2018 menetapkan berdasarkan juga kebutuhan dasar anak. SEMA No. 3/2015: besarnya meningkat setiap tahun sebesar 10% hingga 20% per tahun, tidak termasuk besaran biaya pendidikan dan kesehatan. Jika suami atau ayah tidak memenuhi, maka Ibu dapat mengambil tindakan hukum dengan cara mengajukan eksekusi ke pengadilan. Perilaku tidak memenuhi hak nafkah anak termasuk ke dalam jenis kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT) dan diancam dengan denda atau penjara paling sedikit 6 bulan.

Prof Euis juga memaparkan bagaimana sikap Hakim dalam pemenuhan hak-hak anak pasca perseraian yang dianalisis dari putusan Pengadilan Agama. Hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan besaran nafkah adalah: usia anak-anak, yang menentukan kebutuhan dasar mereka, standar harga local, dan kemampuan finansial ayah. Hakim mewajibkan suami atau ayah menyerahkan besaran nafkah yang telah ditentukan untuk anak (minimal bulan pertama sampai tiga bulan pertama) ke pengadilan beserta pembayaran lainnya (nafkah iddah dan mut’ah bagi mantan istri) sebagaimana yang tertulis dalam putusan. Hakim tidak mengizinkan suami mengambil ‘akta cerai’ sebelum suami melakukan pembayaran.

Dalam realitasnya, Prof. Euis menemukan data menunjukkan bahwa dalam 15 kasus, 46,67% atau 7 melakukan pembayaran dan sebanyak 53,33% atau 8 tidak melakukan pembayaran. Keterlibatan pengacara juga berbeda, sebanyak 46,67% atau 7 kasus melibatkan pengacara Sebanyak 53,33% atau 8 kasus tidak melibatkan pengacara. Di sisi lain, Prof. Euis menemukan fakta bahwa Ibu atau mantan istri yang menerima hak asuh anak, tidak lagi menerima uang setiap bulannya dari mantan suaminya, karena mantan suaminya menikah lagi. Fakta lain menunjukkan bahwa sang Ibu menerima hak asuh anak hanya menerima pembayaran dari suaminya pada bulan pertama. Kondisi demikian menunjukkan adanya mekanisme prosedural yang lemah. Tidak ada koneksi data dari satu institusi ke institusi lain yang relevan alias tidak ada kerja sama yang terorganisir. Harta milik suami sulit diidentifikasi dan dikumpulkan, sementara istri wajib memberikan bukti harta milik mantan suami. Oleh karena itu perlu adanya gerakan untuk mewujudkan perlindungan yang lebih baik. Pemerintah perlu mensinergikan hubungan antara lembaga peradilan dengan lembaga-lembaga lain untuk memenuhi kebutuhan finansial anak-anak, seperti Badan Amil Zakat atau Badan lokal atau organisasi lainnya.

Liputan Terpopuler