Kode Etik sebagai Landasan Profesionalisme Advokat

Thalis sedang mempresentasikan materi
KODE ETIK SEBAGAI LANDASAN PROFESIONALISME ADVOKAT
Kontribusi mahasiswa Prodi S3 Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga kembali menasional, melintas batas perguruan tinggi. Adalah Thalis Noor Cahyadi, mahasiswa semester 4 (empat), yang juga menjadi CEO dan Founder TNC & Friends ini, mendapat rekognisi dengan menjadi narasumber pada workshop penyusunan kode etik mahasiswa, paralegal, dan advokat. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Salatiga pada tanggal 7-9 Oktober 2021 ini berlangsung di Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah.
Pada kegiatan ini, Thalis memaparkan materi tentang Kode Etik sebagai Landasan Profesionalisme Advokat.Dalam dunia profesi advokat, menurut Thalis, terdapat kode etik advokat, termasuk di Indonesia ada namanya Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), yang merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, Negara atau masyarakat dan terutama dirinya sendiri.
Dalam Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia disebutkan bahwa“Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya.”
Bunyi Pasal 2 ini seolah menggambarkan betapa seorang advokat Indonesia ini merupakan ‘manusia pilihan’ dan atau ‘makhluk mulia’ karena ia adalah insan yang bertakwa, jujur, siddik, amanah, dan berakhlak mulia. Oleh karenanya profesi advokat dianggap sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).Terhormat karena kepribadiannya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, kode etik dan sumpah jabatannya. Karena posisinya yang terhormat, maka seorang advokat diberikan kebebasan dan perlindungan hukum oleh undang-undang dalam menjalankan profesinya.
Sebagai profesi yang terhormat (officium nobile)Advokat diberikan hak dan kewajiban dalam menjalankan profesinya tersebut. Implementasi hak dan kewajiban inilah yang menjadi indikator profesionalisme advokat. Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan status yang jelas bagi profesi advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan yang memiliki wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI (Pasal 5).
Undang-undang Advokat dan juga Kode Etik Advokat menjadi acuan utama bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Namun demikian implementasi kode etik tersebut menjadi persoalan manakala tidak adanya pengawasan secara baik oleh organisasi advokat. Organisasi Advokat yang selalu dirundung konflik menyebabkan atau paling tidak berpengaruh pada implementasi nilai-nilai luhur yang ada dalam kode etik advokat. Berbagai kasus hukum yang menyeret advokat dalam “jejaring lingkaran setan” menyebabkan pudarnya “profesi terhomat” yang disematkan oleh undang-undang.
Untuk mengembalikan “profesi terhormat” tersebut profesionalisme advokat menjadi mutlak diperlukan. Advokat yang hebat bukanlah advokat yang selalu menang dalam perkaranya, bukan pula yang selalu banyak kliennya, bukan juga advokat yang banyak hartanya, akan tetapi advokat yang hebat adalah advokat sebagaimana Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia yakni advokat yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah profesi yang diucapkannya.