Pengacara Syariah: Status, Peran, dan Kode Etiknya

PENGACARA SYARIAH DI INDONESIA: STATUS, PERAN DAN KODE ETIKNYA

Para Pengacara Syariah harus berjuang agar memiliki status yang setara dengan pengacara hukum umum. Secara historis, praktik pengacara sudah dimulai sejak masa colonial Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian melakukan modernisasi sistem dalam seleksi untuk menjadi lawyer. Setelah tahun 1989 Pengadilan Agama mulai memiliki kedudukan setara dengan pengadilan sipil. Posisi ini diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan ditempatkan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung. Namun demikian, penguatan kedudukan Pengadilan Agama tidak otomatis diikuti dengan penguatan pengacara syariah. Terjadi perdebatan serius tentang syarat dan pelatihan bagi advokat, dimana fakultas hukum Islam dibedakan dengan fakultas hukum umum. Akses untuk menjadi advokat juga berbeda antara alumni hukum Islam dengan alumni hukum umum. Alumni hukum umum dapat menjadi pengacara di pengadilan negeri dan di pengadilan agama, dan ketentuan ini tidak berlaku bagi alumni hukum Islam.

Pada tahun 2003 terbit aturan baru yang menyatakan bahwa lulusan hukum Islam dapat melamar posisi advokat di kedua pengadilan tersebut. Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI) berjuang untuk kesetaraan posisi bagi alumni fakultas hukum Islam. Kesempatan bagi mereka tetap dibatasi meskipun ada perluasan prospek.Pengacara lulusan fakultas hukum Islam telah memperjuangkan hak akses ke pengadilan negeri yang setara dengan rekan-rekan mereka dari fakultas hukum umum. Dalam perjuangan mereka untuk masuk ke pengadilan negeri, mereka tidak bisa mengatakan bahwa pengacara lulusan fakultas hukum umum tidak diizinkan untuk beracara di pengadilan agama.

Demikian disampaikan oleh Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A dalam International Legal Ethics Conference (ILEC) 2022, Lawyers in a World Crisis, yang diselenggarakan oleh UCLA School of Law. Konferensi ini dilaksanakan secara luring dan daring. Secara luring kegiatan ini dilaksanakan di Luskin Conference Center, Los Angeles, California, USA tanggal 13-15 Agustus 2022. Kegiatan ini juga sekaligus melaunching buku “The Role of Lawyers in Access to Justice, Asian and Comparative Perspective. Kegiatan ini menghadirkan para narasumber dari berbagai belahan dunia. Dalam sesi Plenary Panel para narasumber terdiri dari: Deborah Enix-Ross (Presiden American Bar Association), David Carter (Federal Judge, Central District of California), Rachel Moran (Professor UC Irvine School of Law, Presdien of the American Association of Law Schools).

Prof. Euis Nurlaelawati masuk dalam sesi Imagination yang mendiskusikan tema “Lawyers in Asian Syariah Courts: Ethical and Regulatory Issues”. Bertindak sebagai chair adalah Maybell Romero (Tulane University Law School), Helena Whalen-Bridge (National University Singapore), Arif Jamal (National University Singapore), Kerstin Steiner (La Trobe University Law School, Syariah Law Practice in Malaysia), dan Ahmad Nizam Abbas (Emerald Law, Syariah Law Practice in Singapore).

Menurut Prof Euis, kolonialisasi Belanda memiliki dampak bagi sistem hukum di Indonesia, yaitu pemisahan antara syariah dan adat dengan memunculkan teori resepsi. Kondisi ini berlangsung hingga pasca kemerdekaan dalam bentuk pluralisme hukum dengan beberapa modifikasi. Hukum adat tetap diaplikasikan di Pengadilan Negeri. Hukum Islam diintegrasikan ke dalam hukum nasional, yaitu dibentuknya Pengadilan Agama yang memiliki kompetensi mengadili perkara dalam bidang hukum keluarga Islam. Pemerintah menerbitkan Kompilasi hukum Islam dan beberapa regulasi lain yang relevan sebagai materi hukum yang dijadikan pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama.

Dalam aspek pendidikan hukum, di Indonesia terdapat dua jenis pendidikan, yaitu pendidikan hukum umum, yang berada di Fakultas Hukum Universitas Negeri maupun swasta, serta pendidikan hukum Islam yang berada di Fakultas Hukum Islam (Syariah) di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, baik Negeri maupun swasta, seperti UIN, IAIN, STAIN. Strata pendidikannya dimulai dari tingkat sarjana (bachelor), pascasarjana (magister dan doktor). Penyelenggaraan pendidikan hukum dan hukum Islam berada di bawah dua kementerian, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.

Dalam rekruitmen lawyer di Pengadilan Agama terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, seperti: lulusan fakultas hukum (hukum umum maupun hukum Islam), mengikuti pelatihan di Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), lulus ujian profesi advokat, magang di kantor advokat (law Firm) dalam 2 tahun, dan mendapatkan sertifikat atau kartu advokat.Dalam bidang etik, Kode etik advokat berlaku secara umum kepada semua advokat Indonesia tanpa mempertimbangkan latar belakang pendidikan, agama, dan wilayah praktiknya.

Liputan Terpopuler