Haramkah Cangkok Ginjal Babi ke Manusia?

Siaran langsung Fiqh Baru
HARAMKAH CANGKOK GINJAL BABI KE MANUSIA?
Semua manusia terlahir dalam keadaan fitrah alias suci, baik secara lahir maupun batin. Badan manusia adalah suci, sehingga ketika ada anggota badan tersebut yang sakit, maka harus disembuhkan dengan yang suci. Oleh karena itu, pencangkokan ginjal babi ke manusia adalah haram, karena babi termasuk binatang yang diharamkan. Namun, dalam kondisi darurat, maka pencangkokan tersebut diperbolehkan. Hal tersebut disampaikan oleh H. Nurdhin Baroroh, S.H.I, M.S.I., mahasiswa S3 Ilmu Syariah dalam acara Fiqh Baru, yang disiarkan secara langsung melalui Radio MQFM Yogyakarta pada hari Kamis, 4 Nopember 2021, mulai pukul 16.30-17.30. Acara ini terselenggara atas kerjasama Prodi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Radio MQFM Jogja.
Topik perbincangan pada acara tersebut adalah “"Haramkah Cangkok Ginjal ke Manusia". Dalam penjelasannya, Nurdhin Baroroh, yang juga Dosen sekaligus Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab, menguraikan tentang ketentuan dan batasan kondisi darurat.Hal penting yang harus didahulukan dalam kasus cangkok ginjal babi ke manusia adalah pertimbangan medis. Sebelum sampai pada keputusan mencangkok ginjal babi, maka harus melalui pengobatan medis yang dihalalkan, yaitu: pengobatan, cuci darah, dan terakhir baru transplantasi. Ketika menempuh jalan transplantasi, maka harus menggunakan ginjal yang suci, yaitu ginjal manusia. Namun, jika ginjal manusia tidak ditemukan yang cocok, atau tidak ada lagi pendonor, dan pada saat yang sama nyawa pasien terancam, maka penggunaan ginjal babi menjadi pilihan terakhir. Ketentuan ini sama dengan keputusan Fatwa Ulama Al Azhar, yang kemudian direspon dengan respon yang sama oleh MUI, yang membolehkan cangkok ginjal babi ke manusia jika dalam kondisi darurat dan tidak ada cara lain lagi.
Dalam argumentasinya, Nurdhin mengutip pernyataan (qaul) Imam Nawawi dalam Kitab Majmu’nya, yang mengatakan bahwa jika ada seseorang mengalami patah tulang, maka pengobatan pertamanya adalah ditopang dengan tulang yang suci. Qaul ini dapat dijadikan sebagai dasar pengqiyasan untuk mendahulukan pengobatan dengan hal atau cara yang suci.
Dalam menjelaskan tentang ketentuan darurat, Nurdhin mengutip ayat Alquran, yaitu Surat Al Baqarah ayat 173 dan Surat Al An’am ayat 145. Di akhir kedua ayat tersebut dijelaskan bahwa kondisi darurat itu batasannya adalah kondisi terpaksa, tidak diinginkan, dan tidak melampaui batas. Dalam hal ini juga berlaku kaidah “ad-dhararu yuzalu” bahwa bahaya itu harus dihilangkan. Gagal ginjal adalah keadaan bahaya (dharar), karena mengancam kehidupan manusia, sehingga mengobatinya adalah wajib. Nurdhin juga mengungkapkan tentang adanya kemafsadatan dalam kasus cangkok ginjal babi ke manusia, yaitu kemafsadatan yang berkaitan dengan hifz din (pelanggaran terhadap hukum agama, karena babi hukumnya haram), dan kemafsadatan yang berkaitan dengan hifz nafs (kematian akibat gagal ginjal). Dalam menghadapi dua kemafsadatan ini, maka harus dipilih kemafsadatan yang paling kecil resikonya, sesuai dengan kaidah fikih“Idza Ta’aradha Mafsadatani Ru’iya A’dhamuhuma Dhararan Bi Irtikabi Akhaffihima” sehingga ketika tranplantasi dilakukan kemudian berhasil, pasien bisa menjalani kehidupannya untuk kemudian bisa beribadah lagi guna menjalankan hifz din.
Di akhir perbincangan, Nurdhin Baroroh menegaskan bahwa dalam hal pengobatan, yang paling utama adalah menggunakan bahan-bahan yang suci, karena tubuh manusia adalah suci sehingga harus tetap dijaga kesuciannya.