Urgensi Redesain Ushul Fikih bagi Pengembangan Hukum Islam Kontemporer

URGENSI REDESAIN USHUL FIKIH BAGI PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM KONTEMPORER

Hukum Islam, sebagai hukum yang berasal dari ajaran agama Islam, oleh para ahli hukum umum biasanya dipandang sebagai hukum sakral yang sama sekali tidak dapat berubah (immutable), hanya memberikan kewajiban dan tidak memberikan hak sama sekali, sehingga dalam keilmuan hukum (jurisprudence) dimasukkan dalam norma agama, dandibedakan dengan norma atau kaedah hukum. Untuk itu diperlukan upaya meredesain dan mereformulasi konsep-konsep dan teori-teori terkait yang ada dalam ushul fikih, sehingga peran ushul fikih dapatlebih optimal dalam pengembangan keilmuan hukum Islam kontemporer.

Pernyataan di atas disampaikan oleh Prof. Dr. H. Agus Moh. Najib, M.Ag, pada Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Acara ini berlangsung secara daring dan luring, pada hari Kamis, tanggal 4 Oktober 2021 di Gedung Prod. Dr. H.M. Amin Abdullah (Multipurpose), mulai pukul 08.00 hingga selesai. Menurut Dosen Prodi S3 Ilmu Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, upaya redesain ushu fikih dilaksanakan melalui empat langkah.

Pertama, Menelusuri Arti Hukum Islam: di antara Istilah Syariah, Hukum Syar’i dan Fikih. HukumIslam umumnya masih dipandang identik dengan istilah syariah, hukum syar’i dan fikih. Padahal, istilah-istialh tersebut tidak identik dan memiliki beberapa perbedaan makna. penyamaan hukum Islam dengan dua istilah tersebut berimplikasi signifikan terhadap adanya pandangan mengenai sakralitas yang berlebihan terhadap hukum Islam. Padahal realitasnya, hukum Islam bersifat ilahi (sakral) dan waḍ’i (profan, sekuler) sekaligus. bidang hukum Islam hanya merupakan (sepertiga) bagian dari fikih, yaitu dimensi hukum dari ilmu fikih. Begitu pula dari sisi muatan aturan hukum dan anjuran moral fikih, maka hukum Islam lebih dekat kepada dimensi aturan hukum yang dikandung dalam fikih dari pada dimensi moralnya, walaupun kedua dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan secara dikhotomis. Sehingga, hukum Islam secara keilmuan mendekati kerangka keilmuan hukum secara umum, dan lebih mudah apabila akan memberikan kontribusi bagi pembinaan hukum dalam suatu negara.

Kedua,memposisikan Mujtahid sebagai Pembuat Hukum. Salah satu penyebab sakralitas yang berlebihan tersebut adalah pembahasan ushul fikih mengenai pembuat hukum (al-ḥākim) yang hanya menyebut Allah SWT sebagai satu-satunya pembuat hukum. Hal ini seakan-akan menafikan peran mujtahid dalam proses pembentukan hukum Islam, padahal hukum Islam, atau fikih secara umum, sebagaimana dikemukakan, merupakan hasil interpretasi para mujtahid dalam memahami syariah dan hukum syar’i. Dengan peran mujtahid yang besar dalam memformulasi hukum Islam tersebut, maka mujtahid dalam realitasnya dapat dikatakan sebagai pembuat hukum yang dominan. pembuat hukum yang hakiki (al-ḥākim al-ḥaqīqi) dan paling inti dalam hukum Islam adalah Allah SWT, yang firmanNya terdapat dalam Al-Qur`an. Sementara Nabi adalah pembuat hukum penjelas (al-ḥākim al-mubayyin) dari apa yang sudah Allah firmankan dalam Al-Qur`an. Penjelasan Nabi tersebut terdapat dalam Sunnah Nabi. Kemudian mujtahid adalah pembuat hukum yang relative (al-ḥākim an-nisbi) karena hasil ijtihadnya merupakan hasil interpretasi (fikih) terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Nabi yang disesuaikan dengan konteks yang dihadapi. Karena konteks (‘urf) bersifat dinamis dan terus berkembang, maka hasil ijtihad dari para mujtahid ini juga mengalami perkembangan terus menerus sesuai kemajuan peradaban manusia.

Ketiga,Membedakan antara Sumber dan Metode dalam Ushul Fikih. Sebagian ulama kontemporer membedakan antara dua istilah tersebut, yaitu bahwa maṣādir al-aḥkām (sumber hukum) adalah hanya Al-Qur`an dan As-Sunnah, sementara adillah al-aḥkām (dalil hukum) adalah di samping Al-Qur`an dan As-Sunnah juga Ijma, Qiyas dan yang lainnya. Dalil-dalil hukum yang ada dalam pembahasan ushul fikih, dapat dibedakan dan diklasifikasikan menjadi sumber, metode dan produk dari fikih Islam. Sumber hukum Islam berupa: Alqur’an, Hadis, syar’u man qablana dan ‘urf. Metode hukum Islam berupa: Ijmak, qiyas, istihsan, istislah, istishab, dan sadd az-zari’ah. Produk Hukum islam berupa: ijmak dan qaul sahabi.

Keempat,menformulasi Fikih sebagai Norma Hukum. Fikihmengandung muatan moral yang kental, sehingga untuk dapat memberikan kontribusi kongkret terhadap pembentukan dan perkembangan hukum pada masa kontemporer, perlu adanya upaya interkoneksi antara istilah fikih dan istilah hukum secara umum. Sisi norma moral dari fikih ini berasal dari nilai-nilai syariah yang menjadi landasan bagi formulasi fikih, sementara sisi norma hukumnya terutama berasal dari pertimbangan terhadap ‘Urf (norma kebiasaan) yang ada. Oleh karena itu, fikih yang dalam formulasinya tidak mempertimbangkan ‘Urf dan hanya merupakan hasil penalaran normatif-teoritis terhadap nash syariah (istinbāț, penalaran deduktif), maka pada umumnya akan menghasilkan fikih yang hanya didominasi oleh norma-norma moral. Berbeda dengan itu, dalam konteks interkoneksi dengan ilmu hukum umum, maka yang perlu lebih ditonjolkan adalah sisi norma hukum dari fikih, yaitu fikih yang mempertimbangkan ‘urf yang ada. Hasil interpretasi dan kontekstualisasi syariah yang berhadapan secara diametral dengan norma kebiasaan masyarakat itulah yang disebut fikih sebagai norma hukum. Hukum Islam atau fikih sebagai norma hukum merupakan hasil dialektika antara norma kebiasaan yang ada dalam masyarakat (termasuk juga hukum adat dan hukum positif yang berlaku) dengan nilai-nilai moral syariah.Norma ideal moral syariah yang bersifat normatif-idealis dan norma kebiasaan yang menggambarkan realitas empiris masyarakat kemudian didialektikakan secara kritis. Dialektika ini dimaksudkan untuk membentuk formulasi norma hukum Islam yang jelas dan kongkret, sehingga tidak hanya berupa fikih yang masih bersifat anjuran moral. Kemudian supaya hukum Islam tersebut memiliki signifikansi yang konkrit dalam konteks negara, maka hasil dialektika tersebut diobjektifikasikan sesuai konteks masyarakat masing-masing wilayah atau negara tersebut, tanpa harus dilabelkan Islam.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler