Membangun Fikih Peradaban

FIKIH PERADABAN UNTUK PERDAMAIAN DUNIA

Fikih peradaban adalah fikih yang menjadi dasar bagi upaya membangun peradaban. Upaya tersebut dilakukan dengan cara mendialogkan nash-nash Syari’ah dengan realitas untuk memberikan jawaban atau solusi atas permasalahan kekinian. Dalam dialog tersebut diperlukan manhaj/metode ijtihad yang valid dalam penetapan hukumnya. Tujuannya adalah memahami teks agama dengan pendekatan kontekstual demi terwujudnya kedamaian dan keadilan, mengembalikan tujuan syariah dalam bingkai maqashid al-syariah dan maslahat sebagai fondasi beragama. Demikian paparan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag, Ketua Prodi Doktor Ilmu Syari’ah ketika menjadi narasumber dalam Kajian Sore Ramadhan bil Jami’ah. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Utama Masjid Sunan Kalijaga, pada hari Rabu, 20 Maret 2024, mulai jam 16.00 hingga selesai.

Menurut Prof. Ali, fikih adalah ilmu tentang hukum syara’ yang `amaly yang digali dari sumber ajaran Islam dengan menggunakan dalil-dalil yang rinci. Fikih adalah penafsiran ulama terhadap wahyu (Alquran dan Hadis), sehingga menghasilkan keragaman pendapat (mazhab). Tujuan fikih adalah untuk mendetilkan ajaran Islam dalam tataran praktis (living law), sehingga memungkinkan terjadinya dialektika antara ajaran Islam dengan tradisi/adat local. Oleh karena itu, fikih bukan syari’ah, karena fikih memiliki sifat adaptif, dinamis, variative, elastis, terbuka.

Terdapat tiga aspek penting dalam perumusan Fikih peradaban: nash (wahyu), realitas (al-waqi’), dan tujuan (maslahah). Hubungan ketiganya bersifat fungsional. Fikih harus diintegrasikan dengan dua ajaran Islam yang lain, yaitu Akidah dan Aklhak, agar rumusan fikih tidak legal formalistic, tetapi merupakan paduan antara aspek legal, moral, dan spiritual. Fikih harus mengacu pada tujuan utama ajaran Islam yaitu rahmatan lil ‘alamiin, dengan menjadikan tauhid sebagai basis ketetapan hukum dan maslahah sebagai dasar dan tujuan perumusannya. Proyeksi fikih bukan hanya sebagai social control, tetapi juga sebagai social engineering dan social development.

Dalam perumusan fikih peradaban, menurut Prof. Ali diperlukan dasar dan metodologi yang valid. Prosesnya adalah mendialogkan antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi. Tahapannya adalah: (1) Pembacaan terhadap teks (Alquran, Aqwal Ulama) harus bersifat produktif dengan melibatkan konteks melalui kajian intertekstualis (antar ayat, antar aqwal) dan intratekstualis (ayat dengan hadis, wahyu sebelumnya, tradisi Arab); (2) Menginterkoneksikan pendekatan bayany – ta`lily dan istislahy dalam perumusan fikih; (3) Merumuskan sekaligus memetakan mana ajaran yang fundamental (qat’y, ushuly, universal, ghayah, tetap), dan mana ajaran yang instrumental (zhanny, furu’, local, wasilah, dapat berubah); dan (4) Mengintegrasikan berbagai pendekatan: interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin.

Dalam konteks tersebut, Prof. Ali menawarkan metode perumusan fikih peradaban, yaitu perlunya mengembangkan Fikih Maqasidi (Fikih yang dirumusan dengan menggunakan model ijtihad maqasidi) untuk membangun peradaban yang bertujuan melandingkan Rahmatan lil `Alamin. Menggunakan manhaj “Maudhu`i Nuzuly” sebagai metode ijtihadnya, yaitu memadukan antara kajian tematik (maudhu’i) dengan kajian historis (nuzuli). Manhaj Maudhu`i dilakukan dengan menginventarisir nash secara tematik untuk menemukan kesatuan ide/world view dari hukum yang ditetapkan. Manhaj Nuzuly adalah menyajikan konteks historis dan dialogis Alquran dalam merespon persoalan yang muncul saat pewahyuan. Hal yang penting untuk dilakukan adalah mengintegrasikan pendekatan interdisiplin, multidisiplin, dan transdisiplin: mengarahkan upaya kontekstualisasi agar mencapai kemaslahatan.

Di akhir sesi, dibuka sesi dialog. Para peserta antusias menyampaikan pertanyaan kepada narasumber. Pertanyaan para peserta seputar masalah: talfiq atau perpindahan mazhab, bagaimana memilih fikih yang diterapkan, penetapan illat atau alasan penetapan hukum, cara menghadapi khilafiyah di kalangan umat Islam, dan mengapa di masyarakat Arab nilai-nilai Islam justru mulai hilang.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler