Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Legalisasi Poligami Siri

PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM LEGALISASI POLIGAMI SIRI

Dalam ketentuan Undang-undang perkawinan, poligami diperbolehkan jika mendapatan ijin dari Pengadilan Agama. Poligami juga dapat diusulkan untuk dicatatkan melalui isbat nikah. Hal ini menimbulkan masalah hukum berupa dilema dan perdebatan. Apakah pengajuannya secara sukarela atau dipaksakan? Apakah pengajuannya harus diterima atau ditolak? Demikian pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Euis Nurlaelawati, M.A, pakar Hukum Keluarga Islam sekaligus Dosen Prodi Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada kegiatan Program Edukasi Syariah dan Hak Asasi Manusia bagi Pegawai KUA. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Pascsarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan NCHR Oslo Coalition. Pelaksanaan kegiatan ini bertempat di Hotel Grand Rohan Yogyakarta, tanggal 19 Januari 2022, mulai pukul 08.30-15.00. Pada pelatihan ini, Prof Euis menyampaikan makalah dengan judul: “Problematika Isbat Nikah: Legalisasi Poligami Siri dan Pemahaman Perlindungan”.

Menurut Prof. Euis, registrasi perkawinan di Indonesia dilaksanakan melalui dua lembaga; yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pengadilan Agama. Perkawinan yang dicatatkan di KUA adalah perkawinan yang memenuhi syarat yang ditentukan Undang-undang, sedangkan pencatatan melalui penetapan Pengadilan Agama biasanya katrena adanya kondisi tertentu, seperti: perkawinan dini/di bawah umur dan poligami. Penetapan melalui pengadilan ini disebut dengan Itsbat Nikah. Perdebatan yang muncul adalah: apakah itsbat nikah atas poligami termasuk penyalahgunaan hukum?

Pada tahun 2018, muncul Surat Edaran Mahkamah Agung yang mengatur tentang penolakan pengajuan isbat nikah bagi perkawinan poligami siri. Ketentuan ini membatasi Aturan isbat nikah sebelumnya, namun di sisi lain menimbulkan persoalan keadilan jender. Beberapa hakim menyetujui aturan ini, tetapi sebagian hakim yang lain menganggapnya sebagai aturan yang menciptakan masalah. Dalam realitasnya, perkawinan poligami siri Tetap dipraktikkan oleh masyarakat. Tidak ada persetujuan pengadilan dan pengesahan hukum. Tidak ada perlindungan terhadap anak hasil perkawinan poligami siri.

Diperlukan upaya mereview argumen hukum yang dibuat oleh hakim ketika menyetujui pengajuan isbat nikah. Dalam perspektif maqasid syariah, poligami memerlukan ijin dan penetapan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan maslahah yaitu perlindungan anak dan menghindarkan mafsadah. Namun perlu diteliti, maslahah dan mafsadah yang mana, bagi siapa? Apakah maslahahnya jangka pendek Atau jangka panjang? Oleh karena itu diperlukan kepastian hukum. Poligami siri melanggar undang-undang dan Hanya diijinkan Jika sudah ada Aturan yang jelas. Penting juga mempertimbangkan aspek keadilan dan kesetaraan hukum. Pengabaian terhadap kesetaraan hak dari istri pertama untuk menentukan nasib dan masa depan perkawinannya seringkali terjadi dalam poligami siri.

Para hakim perlu memiliki pemahaman yang komprehensif terkait aturan Tentang poligami. Poligami dibolehkan tetapi dengan mekanisme dan kondisi yang spesifik. Aturan Tentang isbat nikah dan dispensasi merupakan solusi untuk kasus-kasus kritis saja. Diperlukan penguatan pendidikan dan pelatihan oleh KUA terhadap pasangan yang akan menikah. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah advokasi dan pendidikan bagi semua, terkhusus dalam masalah poligami.

Liputan Terkait

Liputan Terpopuler