Kepemimpinan dan Peran Hakim Perempuan di Indonesia

Flyer Kegiatan majlis ta'lim hilful fudhul
KEPEMIMPINAN DAN PERAN HAKIM PEREMPUAN DI INDONESIA
Secara historis, keberadaan hakim perempuan di Pengadilan Agama dan perannya dalam penegakan keadilan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sejak tahun 1954 telah ada hakim perempuan di Pengadilan Agama (PA), yaitu Arifiyah Chairi yang ditunjuk menjadi hakim PA Tegal Jawa Tengah. Tahun 1957, Ibu Prayitno menjadi hakim perempuan pertama yang diangkat secara resmi oleh Menteri Agama menjadi hakim di PA Temanggung. Pada tahun 1964, 15 orang hakim perempuan paruh waktu dan 1 orang hakim penuh bertugas di PA Tegal. Hal ini diikuti oleh PA Pekalongan yang juga memiliki hakim perempuan. Rekrutmen perempuan sebagai hakim PA merupakan proses modernisasi hukum secara bertahap dalam dekade pertama setelah Indonesia merdeka. Dalam realitasnya, saat itu Indonesia kekurangan hakim Islam yang berkualitas, sementara karena perkembangan pengadilan dibutuhkan lebih banyak hakim. Di sisi lain, banyak hakim laki-laki yang pada waktu itu bekerja di pengadilan Islam tidak memenuhi persyaratan penuh, seperti pengetahuan standar bahasa Arab dan pemahaman tentang referensi hukum Islam klasik.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A, Guru Besar Hukum Keluarga Islam sekaligus Dosen Program Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada Ceramah Inklusif Ramadhan yang bertema: “Perempuan Muslim Profesional Indonesia: Potret Peradlan Islam”. Kegiatan ini diselenggarakan secara daring oleh Majlis Ta’lim Hilful Fudhul pada hari Jum’at, 22 April 2022, mulai pukul 20.00 WIB hingga selesai.
Pasca diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989, terjadi peningkatan jumlah hakim perempuan di PA. Hal ini disebabkan oleh: (1) Lulusan dari fakultas hukum Islam dan hukum perdata yang memahami hukum Islam dapat melamar posisi hakim; (2) Praktik perekrutan perempuan memperoleh dasar hukum, dimana baik laki-laki maupun perempuan dapat melamar posisi hakim. Pada rekruitmen tahun 1989 perempuan pelamar sudah lebih banyak, meskipun masih lebih sedikit dibanding laki-laki.
Di sisi lain, Pemerintah juga menetapkan kebijakan baru, yakni 30 persen dari posisi hakim dialokasikan untuk perempuan. Dalam praktiknya, jumlah hakim perempuan hanya 20 sampai 24 persen dari jumlah hakim keseluruhan. Menurut Prof. Euis, hal ini karena: (a) Sistem mutasi: peran perempuan dalam keluarga, dan (b) Doktrin tradisional dipertahankan tentang kepemimpinan perempuan dalam masyarakat.
Pada tahun 2012, jumlah hakim PA secara keseluruhan adalah laki-laki: 3190, dan perempuan: 507. Dari tahun 2017-2020: Hakim perempuan di PA belum memenuhi kuota sepertiga dari seluruh jumlah hakim, Jumlah total hakim PA, baik di pengadilan pertama maupun pengadilan tinggi, sekitar 3.900. Dari jumlah ini, 778 adalah perempuan.
Perkembangan menarik juga terdapat pada jabatan struktural yang diduduki oleh hakim perempuan. Dalam riset Prof Euis, banyak hakim perempuan yang kini menduduki jabatan sebagai ketua di kantor-kantor PA. Pada 2009, 20 hakim perempuan ditunjuk untuk memimpin PA tingkat pertama, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 32 orang. Pada tahun 2020, kira-kira jumlah yang sama dari hakim perempuan yang diangkat sebagai Ketua, melalui jalur mutasi dan peningkatan karir/pertukaran posisi.
Dari segi pendidikan, hakim perempuan sudah mulai bersaing dengan hakim laki-laki dan meraih gelar doktor. Pada tahun 2010, salah satu hakim wanita, Djazimah Muqoddas, berhasil mencapai gelar doktornya di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung. Hingga 2012, 389 hakim memiliki gelar doktor dan tiga di antaranya adalah perempuan. Jumlah tersebut meningkat dalam beberapa tahun mendatang, mengingat sedikitnya jumlah hakim perempuan yang mengikuti program doktor pada tahun 2013 hingga tahun 2020.
Meningkatnya jumlah hakim perempuan di PA dan kedudukannya sebagai Ketua PA menunjukkan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai praktisi hukum. Sampai batas tertentu, Hakim perempuan memiliki kemampuan menegosiasikan pemikiran hukum hakim laki-laki. Mereka diharapkan dapat menyelesaikan ketidaksetaraan gender, mampu membuat keputusan yang tidak bias gender dan menunjukkan sensitivitas gender yang lebih besar daripada rekan hakim laki-laki mereka; terutama dalam masalah harta bersama, perwalian, dan perceraian, dan perkawinan di bawah umur.
Di akhir pemaparannya, Prof Euis menjelaskan tentang beberapa hambatan yang dialami hakim perempuan. Dalam hal kepemimpinan masih ada dominasi pandangan konservatif tentang kepemimpinan perempuan, khususnya di bidang peradilan. Disamping itu sistem mutasi yang ketat dan penempatan hakim baru yang berlaku untuk semua hakim juga menjadi hambatan tersendiri.
Dalam hal kontribusi mewujudkan keadilan, hakim perempuan kurang memiliki keterampilan negosiasi yang baik. Hakim Ketua sebagian besar adalah hakim laki-laki, namun dalam beberapa kasus, perempuan menempati sebagai ketua majlis. Dari aspek sosial budaya, masalah yang menjadi hambatan adalah setting sosial, dimana kondisi budaya dan dominasi laki-laki yang kuat, sensitivitas hakim perempuan yang rendah serta kesalahpahaman tentang sensitivitas gender di antara mereka.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, Prof Euis menyarankan agar mendorong lebih banyak perempuan untuk direkrut menjadi hakim serta meningkatkan sensitivitas gender mereka. Dalam hal rekrutmen, perlu adanya kebijakan tentang prioritas perempuan ketika mereka memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki. Kebijakan tentang sistem penempatan juga harus lebih fleksibel dan dinegosiasikan. Untuk mengarah pada sensitivitas gender yang lebih tinggi diperlukan adanya pelatihan dan lokakarya serta meningkatkan keahlian mereka memahami budaya dan praktik di masyarakat.