Terobosan Hukum Penanganan Kekerasan Seksual

TEROBOSAN HUKUM PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL

Penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual memerlukan beberapa terobosan hukum, yaitu:pertama, pengualifikasian Jenis Tindak Pidana Seksual, yaitu Pengualifikasian jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang – undangan;kedua, pengakuan dan jaminan korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan. Pengakuan dan jaminan korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan, sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual, yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban. Selain itu, perhatian yang besar terhadap penderitaan korban juga diwujudkan dalam bentuk pemberian restitusi. Restitusi diberikan oleh pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai ganti kerugian korban, dan ketiga, menetapkan restitusi sebagai pidana pokok. Hal ini didasarkan pada pasal 16 ayat (1) dimana Hakim wajib menetapkan besarnya restitusi terhadap tindak pidana kekerasan seksual yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.Pasal 35 ayat (1) menyatakan bahwa bila harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi, maka Negara memberikan kompensasi sejumlah restitusi yang kurang bayar kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan. Hal ini didukung pasal 35 ayat (2) yang menentukan bahwa kompensasi dibayarkan melalui dana bantuan korban.

Demikian paparan yang disampaikan oleh A Hashfi Luthfi, M.H, C.L.A, C.M., mahasiswa Program Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat menjadi narasumber dalam kegiatan serial diskusi bertajuk "Menguak Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi" pada hari Sabtu, tanggal 17 September 2022. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama antara Prodi Hukum Ekonomi Syari'ah (HES) dengan LBH APIK. Selain Hashfi, narasumber lain yang dihadirkan dalam kegiatan ini adalah Dr. Budhi Wahyuni, M.M., M.A, Wakil Ketua Komnas Perempuan periode 2015-2019, dan Pengurus Nasional LBH APIK. Kegiatan ini berlangsung secara luring di Ruang Teknoklas Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

UIN Sunan Kalijaga adalah perguruan tinggi yang konsen dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Hal ini dibuktikan dengan didirikannya PLT (Pusat Layanan Terpadu) berdasarkan SK Rektor Nomor 187.2 Tahun 2020 yang bergerak dibidang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Alasan mengapa dibentuk PLT adalah: karena kekerasan seksual bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan serta mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat. Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konstitusi NKRI kita menjamin setiap warga negara wajib mendapatkan Pendidikan yang aman.

Menurut Hashfi, yang juga menjadi Sekretaris Prodi Hukum Ekonomi Syariah (HES) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini, PLT merupakan wujud perlindungan dan komitmen kampus dalam: upaya melindungi, mengayomi, dan memperkuat hak sivitas akademik dan masyarakat UIN, sikap menghargai atau menerima keberadaan korban, upaya memenuhi, melaksanakan, dan mewujudkan hak hak sivitas akademik dan masyarakat UIN.

Lingkup penangananmeliputi: kesehatan, psikisosial, hukum, dan keagamaan.Bentuk kekerasan seksual di lingkungan kampus: meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, relasi kerja, public, dan situasi khusus lainnya sepanjang masih berada di dalam lingkup UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Bentuk kekerasan seksual sebagaimana dimaksud adalah: pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, eksploitasi sekusal, pemaksaan seksual, pemerkosaan, dan penyiksaan seksual.

Dalam beberapa penelitian ditemukan sikap kampus yang sering terjadi terhadap kekerasan seksual, antara lain: viktimisasi, dimana korban mengalami viktimisasi baik dari kalangan dosen dan mahasiswa lainnya; korban dan teman-temannya yang membantu diberi nilai jelek; berusaha menutupi dengan cara menyelesaikan di luar jalur hukum, melakukan upaya tidak terekspose; serta melakukan pembelaan terhadap pelaku seperti membela dan melindungi pelaku, mengintimidasi korban dan mengajakkeluarga korban untuk berdamai. Padahal dalam pasal 23 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dinyatakan bahwa perlara TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam Undang – Undang.

Liputan Terpopuler