Desain Riset Perbandingan Hukum

DESAIN RISET PERBANDINGAN HUKUM

Ruang lingkup kajian perbandingan hukum dapat dibedakan dalam dua scope, yaitu unlimited dan limited. Semua entitas di dunia ini dapat saling diperbandingkan meskipun tidak harus jelas perbedaan maupun persamaan antara kedua entitas yang diperbandingkan tersebut. Artinya, hukum apapun bisa diperbandingkan dengan hukum apapun yang lain, sejauh ada alasan untuk memperbandingkan antara keduanya. Kegiatan perbandingan hukum tidak boleh dibatasi oleh alasan-alasan apapun, entah itu fungsionalisme, strukturalismemaupun yang lainnya. Pengkaji secara bebas boleh membandingkan apapun tanpa halangan karena faktor-faktor yang berada dari dalam maupun dari luar sesuatu yang diperbandingkan.

Di sisi lain keberbedaan dengan begitu tidak musti bisa menjadi alasan untuk memperbandingkan, karena aktifitas perbandingan itu harus mengikuti syarat dasar agar ia menjadi layak secara ilmiah.Harus ada unsur komparabilitas yang jelas jika dua atau lebih entitas hukum itu ingin diperbandingkan.hukum yang bisa diperbandingkan hanya terbatas pada hukum yang similia similibus, yang terdapat unsur persamaan antara beberapa entitas yang diperbandingkan. Oleh karena itu, dalam kajian perbandingan harus memenuhi unsur: (1) Comparatum, elemen yang diperbandingkan: substance, structure, local culture; (2) Comparandum, subyek perbandingan; dan (3) Tertium comparationis, yaitu sifat atau elemen umum yang sama-sama ada di masing-masing entitas hukum yang diperbandingkan.

Demikian paparan yang disampaikan oleh Prof. Drs. Ratno Lukito, M.A., D.C.L, Guru Besar Perbandingan Hukum dan Dosen Program Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat menjadi narasumber dalam “Workshop Penulisan Artikel dengan Pendekatan Perbandingan Hukum”. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi, pada hari Jumat, 7 Oktober 2022, mulai pukul 08.30 – 16.00 WIB, bertempat di Ruang Prof. Fuad Bafadhal, Kampus Pinang Masak, Jambi.

Menurut Prof. Ratno, dalam kajian perbandingan hukum terdapat tiga level perbandingan yang harus diketahui, yaitu level makro, mikro, dan mezzo. Dalam level makro, studi perbandingan ini lebih menitikberatkan pada aspek makro sebuah sistem hukum, dan bukannya detail mikro lex specialist yang mengisi sistem yang besar tersebut. Sistem hukum lebih berhubungan dengan masalah tatanan sosial dimana di dalamnya hukum dibentuk dan diaplikasikan untuk merefleksikan fungsi dasar dari hukum itu dalam masyarakat. Faktor-faktor substance, structure dan culture dari suatu sistem hukum menjadi kajian utama. Dalam level mikro, subyek kajian perbandingan mikro lebih fokus ke arah praktek hukum sebagai tatanan aturan yang diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakat, dan bukan untuk mengkaji hukum dalam ukuran besarnya sebagai fenomena sosial secara jeneral.Kajiannya lebih fokus ke dimensi normatif dari institusi hukum dan tidak terlalu konsern dengan aspek-aspek lain seperti sosiologis, politis atau lainnya.Dalam level mezzo, subjek kajian mikro dilakukan dengan menggunakan pendekatan makro, yaitu melibatkan substance, structure dan culture.

Subjek kajian perbandingan hukum meliputi perbandingan sistem hukum (Comparative Legal System) dan perbandingan substansi hukum (Comparative Substantive Law). Kajian perbandingan sistem hukum pendekatannya lebih broad-oriented. Bidang kajian yang dilakukan dalam ranah ini difokuskan pada institusi hukum yang lebih jeneral, yaitu ranah sistem hukum atau bahkan yang lebih besar lagi dari itu, misalnya, pada aspek keluarga hukum (legal families), budaya hukum (legal cultures) atau tradisi hukum (legal traditions). Bidang kajian Comparative Substantive Law secara sederhanadipahamisebagai kajian antar berbagai aturan hukum yang berlainan. Kelompok pertama dalam hal ini meyakini bahwa hukum tidak dapat dipahami kecuali diamati dari aspek ruang lingkup yang lebih makro, yang terletak dalam konteks historis, politik, sosial ekonomi dan psikologis yang melingkupinya. Kelompok kedua, kajian perbandingan aturan hukum itu harus dibatasi hanya pada aturan hukum itu saja, tidak perlu menimbang faktor-faktor yang melingkupi aturan itu. Dalam perspektif ini, aturan hukum semata dilihat dari aspek hubungan “top-down”, yaitu institusi negara sebagai agen yang secara sah menciptakan aturan hukum.

Prof. Ratno juga menjelaskan, bahwa dalam penelitian perbandingan hukum, terdapat dua metode yang dapat digunakan, yaitu Metode Eksplanatoris-Kontekstual dan Metode Normative-Tekstual. Metode yang pertama mengacu pada prinsip Comparison is a way of looking, a mode of approaching material and a method in the process of cognition. Perbandingan hukum dalam hal ini dipahami sebagai bagian dari keilmuan sosial yang lebih jeneral dan independen ketimbang sekedar keilmuan hukum yang spesifik mendalami nilai-nilai normatif yang ada dalam masyarakat tertentu saja.Berbagai data dan informasi yang terkumpul saling disandingkan, dianalisis, dideskripsikan dan diidentifikasi persamaan dan perbedaannya sehingga peneliti mampu mengeksplanasikan tinjauan umum dari subyek kajian. Dalam sesi eksplanasi inilah deskripsi tidak boleh dibatasi hanya pada variabel-variabel normatifnya saja, namun juga harus melibatkan berbagai data sosial yang berada diluar data hukum itu sendiri tetapi sangat relevan dalam memahami fenomena hukumnya.Oleh karena itu, penelitian harus dilanjutkan pada kegiatan verifikasi dan konfirmasi temuan-temuan data yang ada agar supaya kegiatan riset itu dapat diselesaikan.

Metode kedua,lebih beorientasi black-letter-law, dalam arti pendekatan riset yang dipilihnya lebih bersifat normatif, struktural, institusional dan positivistik.Informasi yang dicari sebagai bahan analisis cukup berasal dari data hukum, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, kasus-kasus hukum, perdebatan majlis legislatif, doktrin dari para juris, dan sebagainya.Para penelitinya musti memulai riset perbandingan itu dari kenyataan eksistensi aturan yang ada, tanpa menyambungkannya dengan konteks dimana aturan itu berada. Fakta lapangan dengan begitu terefleksi hanya dalam bentuk aturan hukum yang ditemui, dan hanya dari fakta hukum itu saja analisis penelitian perbandingan ini bisa dimulai. Dilakukan dengan dimulai dari inti perbandingan hukum itu sendiri, yaitu menyandingkan, mengkontraskan, mencari persamaan dan perbedaan antara dua atau lebih data hukum yang ada. Inilah yang menjadi inti pandangan kelompok pragmatis: penelitian harus dimulai dari “fakta”, atau problem yang senyatanya ada, dan bukannya “asumsi terhadap fakta itu”. Ketika langkah memperbandingkan itu dijalankan, maka step berikutnya tentu bisa dilakukan yaitu mengeksplanasikan hasil perbandingan tersebut.

Liputan Terpopuler