Problematika Pernikahan di Bawah Umur

Webinar Kajian Hukum Keluarga Islam
PROBLEMATIKA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
Di Indonesia, praktik pernikahan di bawah umur meningkat terus. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: sikap permissive dari para penegak hukum (Hakim PA) yang memberikan dispensasi nikah, ketentuan hukum yang cenderung terbuka, serta faktor ekonomi, sosial dan budaya. Keterangan ini disampaikan oleh Prof. Dr. Euis Nurlaelawati, M.A, Dosen Prodi S3 Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, pada webinar Kajian Hukum Keluarga Islam dengan tema: Fenomena Perkawinan di Bawah Umur di Indonesia. Kegiatan ini diselenggarakan secara virtual oleh Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) UIN Sunan Kalijaga, pada hari Sabtu, tanggal 9 Oktober 2021 mulai jam 09.30 WIB hingga selesai.
Prof Euis, panggilan akrab narasumber ini, adalah pakar sekaligus guru besar di bidang Hukum Keluarga Islam. Dalam memaparkan fenomena perkawinan di bawah umur, beliau memulai dari ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana diketahui, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017, usia minimum perkawinan di Indonesia adalah 19 tahun, bagi laki-laki dan perempuan. Namun persoalannya, meskipun sudah ada ketentuan usia minimum perkawinan, tetapi undang-undang juga mengatur tentang dispensasi nikah yang longgar. Realitas ini menunjukkan adanya celah hukum sekaligus lemahnya ketentuan pelaksanaan perkawinan. Ketika ketentuan undang-undang mengharuskan adanya pencatatan perkawinan, namun terdapat ketentuan lain tentang kebolehan isbat nikah.Banyak pengajuan isbat nikah berasal dari nikah siri pasangan yang menikah di bawah umur. Para hakim Pengadilan Agama tidak mencermati usia pasangan pengaju isbat nikah ketika mereka nikah siri. Di sisi lain, para pegawai pencatat nikah (KUA) tidak mampu menolak pencatatan perkawinan di bawah umur yang diberi dispensasi oleh PA. Dengan demikian, isbat nikah itu solusi ataukah justru problem?
Dalam memeriksa pengajuan dispensasi nikah, sikap Hakim PA cenderung permissive dan hanya sebagian yang bersikap progresif, yaitu menolak pengajuan dispensasi nikah di bawah umur. Hal ini disebabkan tidak adanya standar pemberian atau penolakan dispensasi. Ijtihad yang dilakukan oleh para hakim berbasis pada argumen “demi kemaslahatan” karena pasangan pengaju dispensasi sudah hamil. Para hakim tidak mempertimbangkan akibat jangka Panjang.
Prof Euis juga memaparkan hasil risetnya tentang praktik nikah di bawah umur. Beberapa bentuk nikah di bawah umur, antara lain: tidak mencatatkan pernikahan (nikah siri), mencatatkan pernikahan melalui dispennsasi PA, dan melakukan manipulasi dokumen. Alasan masyarakat mengajukan dispensasi didasarkan pada doktrin agama (menghindari pelanggaran agama) dan budaya masyarakat local (orang tua sakit atau berusia lanjut atau ingin segera menyaksikan anaknya menikah).
Munculnya gerakan nikah muda, dalam pandangan Prof Euis tidak menjadi faktor yang menyebabkan meningkatnya nikah di bawah umur. Istilah nikah muda dimaknai sebagai nikah pada usia antara 19-24 tahun. Dari segi usia, maka nikah muda bukanlah nikah di bawah umur dalam perspektif hukum. Fenomena nikah muda yang berkembang di kalangan kelompok “Hijrah” disebabkan oleh islamisasi dan dakwah media, industry media sosial di kalangan kelas menengah perkotaan, dan pemahaman simplicity tentang ready to use Islam yang menjadi ideologi di kalangan ini.