Pernikahan Beda Agama: Perspektif Agama dan Hukum

Webinar Pernikahan Beda Agama
PERNIKAHAN BEDA AGAMA: PERPEKTIF AGAMA DAN HUKUM INDONESIA
Suatu perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaan serta dicatatkan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan dijelaskan bahwa : 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 4, yang menyebutkan bahwa : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan”.Pencatatan perkawinan menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu bagi pasangan yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah di KUA dan bagi pasangan yang selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan di Catatan Sipil. Kemudian terkait nikah beda agama, ada larangan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu diatur dalam pasal 40 huruf c dan pasal 44. Pasal 40 huruf c menyebutkan “dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu seorang wanita yang tidak beragama Islam.”Dan pasal 44 berbunyi : “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”Sehingga dengan demikian, tertutup peluang pernikahan bagi pasangan beda agama. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Agus Suprianto, S.H, S.HI, M.SI, CM, mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam Webinar Nikah Beda Agama. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI) Sekolah Tinggi Agama Islam Yogyakarta (STAI Yogyakarta) pada hari Senin, 14 Maret 2022 Pukul 19.30 – 21.30 WIB dengan tema " Nikah Beda Agama Perspketif Agama dan Hukum di Indonesia”. Selain Agus Suprianto, webinar ini juga menghadirkan narasumber KH. Zudi Rahmanto, S.Ag., M.Ag, Penghulu Ahli Madya KUA Playen Gunungkidul.
Menurut Agus Suprianto, yang juga menjadi Dosen Hukum di STAI Yogyakarta, asal mula pernikahan beda agama diatur dalam Peraturan perkawinan campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijke S.1898 No. 158, yang dikenal dengan GHR. Pasal 1 GHR menjelaskan bahwa “Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.” Sehingga pernikahan campuran, bisa terjadi dalam hukum yang berlainan yaitu perkawinan campuran internasional, perkawinan antar regio (inter regional), perkawinan campuran antar tempat (inter lokal), perkawinan campuran antar golongan (inter gentiel) dan perkawinan campuran antar agama (antar religius). Namun setelah adanya UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran hanya mengatur hukum berlainan karena perbedaan kewarganegaraan saja. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 57 UU Perkawinan yang berbunyi : “perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia.”
Dalam konteks terjadinya pernikahan beda agama, seperti peristiwa di Semarang, yang mana dilakukan dua kali peristiwa yaitu akad nikah di Hotel Kota Semarang dan pemberkatan di Gereja St. Ignatius Krapyak, menurut Agus Suprianto, yang juga seorang praktisi Advokat dan Mediator, umumnya dilakukan model penyelundupan hukum. Pengalaman menunjukkan ada empat model penyelundupan hukum tentang pernikahan beda agama, yaitu 1). meminta penetapan Pengadilan Negeri; 2). perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama; 3). penundukan sementara pada salah satu hukum agama; dan 4). menikah di luar negeri. Kami mengamati kasus Semarang, cenderung model yang kedua yaitu perkawinan dilakukan dua kali menurut masing-masing agama. Sementara yang paling banyak adalah permohonan penetapan Pengadilan Negeri sebagaimana yurispridensi Putusan Mahkamah Agung No. 1400 K/Pdt/1986, yang menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil memperbolehkan untuk mencatatkan pernikahan beda agama. Atau yang paling banyak adalah model salah satu mempelai melakukan "perpindahan agama secara sementara". Lalu, mempelai itu mengikuti upacara perkawinan yang sah berdasarkan salah satu agama dan setelah menikah, masing-masing pihak kembali memeluk agamanya masing-masing. Dan yang relatif banyak juga adalah melangsungkan pernikahan di luar negeri, kemudian dicatatkan di Indonesia melalui Kantor Catatan Sipil. Dibalik model penyelundupan hukum, apabila ada yang keberatan tentang suatu peristiwa pernikahan beda agama, sebetulnya ada upaya yaitu pencegahan pernikahan atau pembatalan perkawinan, yang dilakukan oleh pihak keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas, oleh suami atau isteri, oleh pejabat yang berwenang dan jaksa.