Kode Etik dan Profesionalisme Advokat
KODE ETIK SEBAGAI FUNDAMEN PROFESIONALISME ADVOKAT
Oleh: Thalis Noor Cahyadi
(Advokat, Mediator dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Kode Etik Advokat (KEA), akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kalangan advokat senior, semakin memanas manakala advokat kondang Hotman Paris Hutapea menantang debat terbuka Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Otto Hasibuan soal apakah seorang pengacara yang suka pamer kemewahan itu dapat dianggap melanggar KEA?. Tantangan Hotman ini muncul diduga karena Peradi Otto akan mempersoalkan kebiasaan Hotman Paris sebagai pelanggaran KEA (Kompas.com, 15 April 2022), dan karenanya Hotman, diduga kemudian memutuskan hengkang dari keanggotaan Peradi Otto, dan belakangan diketahui telah bergabung dengan organisasi advokat baru yakni Dewan Pengacara Nasional (cnnindonesia.com, 16 April 2022). Lalu apa pentingnya KEA bagi advokat?
Historisitas Profesi Advokat
Secara historis, Advokat termasuk salah satu profesi yang tertua. Dalam perjalanannya, profesi ini dinamai sebagai officium nobile, jabatan yang mulia. Penamaan itu terjadi adalah karena aspek “kepercayaan” dari pemberi kuasa (klien) yang dijalankannya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya di forum yang telah ditentukan (Pangaribuan, 1996).
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan pertama ditemukan dalam ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili. Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar Meester in de rechten (Mr). Lebih jauh lagi, akar kata advokat berasal dari kata latin “advocare, advocator”. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah) advokat itu dikenal (Syamsudin, tt).
Di Indonesia, jauh sebelum kemerdekaan profesi advokat sudah dikenal dalam masyarakat. Pada tahun 1947 telah diperkenalkan satu peraturan yang mengatur profesi advokat. Peraturan itu dikenal dengan nama Reglement op de Rechterlijke organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia(S. 1847 no. 23 yo S. 1848 no. 57) dengan segala perubahan dan penambahannya, antara lain menyebutkan advokat adalah juga Procureur. Melihat kenyataan bahwa undang-undang tentang advokat telah dibuat pada tahun 1947, dapat diduga bahwa profesi ini sudah dikenal pada tahun 1850-an (YLBHI, 1989).
Di samping advokat, pada masa sebelum kemerdekaan juga dikenal pokrol atau sering disebut dalam istilah bahasa Inggris bush lawyer. Mereka adalah pemuka-pemuka masyarakat atau orang-orang biasa yang setelah memperoleh pendidikan praktik hukum seperti; Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, Hukum Perdata, Hukum Pidana, diberikan izin pengadilan untuk memberikan nasehat hukum atau melakukan pembelaan masyarakat pencari keadilan di depan pengadilan. Para pokrol ini kemudian berpraktik pula seperti halnya advokat. Pokrol atau bush lawyerini sekarang sudah tidak banyak dikenal, dan lambat laun keberadaannya juga semakin memudar.
Memahami Kode Etik Profesi
Istilah ”etika” berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni ethos yang dalam bentuk tunggal memiliki banyak arti; tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Sementara dalam bentuk jamak, ta etha, berarti adat kebiasaan. Arti terakhir inilah yang menjadi latar belakang terbentuknya istilah ”etika” yang oleh filosof besar Yunani Arsitoteles (384-322 SM) telah digunakan untuk menunjukkan filsafat moral. Etika terkait dengan baik dan buruk, benar dan salah, yang seharusnya dan yang tidak seharusnya. Artinya ia merupakan nilai-nilai yang harus ada dalam prilaku manusia untuk menilai prilaku yang benar dan prilaku yang salah. Ada istilah yang menyatakan bahwa justice is the heart of ethics, keadilan adalah jantung etika. Sehingga bisa dikatakan bahwa seorang yang adil adalah seorang yang tingkah lakunya merefleksikan semua kualitas etik. Orang yang adil adalah orang yang berbudi luhur dengan karakter etika dan moral yang kuat. Di sinilah etika menjadi penentu bagi cara berprilaku yang diharapkan dalam berorganisasi dan bermasyarakat, di mana ia menjadi sistem petunjuk (guidence system) untuk digunakan dalam setiap pengambilan keputusan termasuk dalam konteks administrasi pelayanan publik di mana aplikasi prinsip moral menjadi hal urgent dalam pelaksanaan tata kelola dalam organisasi(Cahyadi, 2011).
Jika dilihat dari maknanya etika memiliki kedekatan makna dengan istilah moral yaitu mores, yang juga berarti adat kebiasaan. Kata mores memiliki sinonim; mos, moris, manner mores atau manners,morals. Bertens menyamakan makna moral pada pemaknaan etika yang pertama yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai yang berkenan dengan baik buruk, atau dengan kata lain moralitas merupakan pedoman yang dimiliki oleh individu atau kelompok mengenai benar atau salah dan baik atau buruk.
Sementara istilah profesi adalah istilah yang ditujukan pada suatu pekerjaan tetap sebagai pelaksanaan fungsi kemasyarakatan berupa karya pelayanan yang pelaksanaannya dijalankan secara mandiri dengan komitmen dan keahlian berkeilmuan dalam bidang tertentu yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup dan terikat pada etika umum dan etika khusus (etika profesi) yang bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum, serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia (respect for human dignity).Menurut Sidharta (2004), profesi itu berintikan praksis ilmu secara bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah konkrit yang dihadapi seorang warga masyarakat. Menurutnya, pengembangan profesi mencakup bidang-bidang yang berkaitan dengan salah satu dan nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental, seperti keilahian (iman), keadilan (hukum), kesehatan (dokter), sosialisasi/pendidikan (guru), informasi (jurnalis).
Hubungan antara pengemban profesi dengan klien atau pasien adalah hubungan yang personal, yaitu hubungan antara subjek pendukung nilai yang bersifat horizontal, antara dua pihak yang secara formal yuridis kedudukannya sama. Namun, sesungguhnya dalam substansi hubungan antara pengemban profesi dan klien atau pasien, secara sosia-psikologikal terdapat ketidakseimbangan. Pengemban profesi memiliki dan menjalankan otoritas profesional terhadap kliennya yang bertumpu pada kompetensi teknikal yang lebih superior. Klien tidak memiliki kompetensi teknikal atau tidak berada dalam posisi untuk menilai secara obyektif pelaksanaan kompetensi tekhnikal pengemban profesi yang diminta pelayanan profesionalnya. Karena itu, klien berada dalam posisi tidak ada pilihan lain kecuali untuk mempercayai pengemban profesi terkait. Klien harus mempercayai bahwa pengemban profesi akan memberi pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat serta tidak akan menyalahgunakan situasinya, melainkan secara bermartabat. Dan, secara bermartabat akan mengarahkanseluruh pengetahuan dan keahlian berkeilmuannya dalam menjalankan jasa profesionalnya. Karena itu, sehubungan dengan nilai-nilai dan kepentingan yang terlibat di dalamnya, maka pengemban profesi itu menuntut bahwa pengemban profesi dalam melaksanakan pelayanan profesionalnya dijiwai sikap etika tertentu. Pengemban profesi itu disebut etika profesi.
Etika profesi pada hakikatnya adalah kesanggupan untuk secara seksama berupaya memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dengan kesungguhan, kecermatan dan keseksamaan mengupayakan pengerahan keahlian dan kemahiran berkeilmuan dalam rangka pelaksanaan kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para warga masyarakat yang membutuhkannya, yang bermuatan empat kaidah pokok.Pertama, profesi harus dipandang dan dihayati sebagai suatu pelayanan dengan tidak mengacu pamrih (disinterestedness).Kedua, selalu mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan.Ketiga, berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.Keempat, semangat solidaritas antar sesama rekan seprofesi demi menjaga kualitas dan martabat profesi.
Rumusan konkret dari sistem etika bagi profesional dirumuskan dalam suatu kode etik profesi yang secara harafiah berarti etika yang dikodifikasi atau, bahasa awamnya, dituliskan. Bertens (2000) menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di dalam masyarakat anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya. Sidharta berpendapat bahwa kode etik profesi adalah seperangkat kaedah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban suatu profesi.
Dalam dunia profesi advokat terdapat kode etik advokat, termasuk di Indonesia ada namanya Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), yang merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggungjawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama dirinya sendiri.
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI)
Dalam Pasal 2 KEAI disebutkan bahwa“Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya”
Bunyi Pasal 2 ini seolah menggambarkan betapa seorang advokat Indonesia ini merupakan ‘manusia pilihan’ dan atau ‘mahkhuk mulia’ karena ia adalah insan yang bertakwa, jujur, sidiq, amanah, dan berakhlak mulia. Oleh karenanya profesi advokat dianggap sebagai profesi yang terhormat (officium nobile).Terhormat karena kepribadiannya dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, kode etik dan sumpah jabatannya. Karena posisinya yang terhormat, maka seorang advokat diberikan kebebasan dan perlindungan hukum oleh undang-undang dalam menjalankan profesinya.
Sebagai profesi yang terhormat (officium nobile) Advokat diberikan hak dan kewajiban dalam menjalankan profesinya tersebut. Implementasi hak dan kewajiban inilah yang menjadi indikator profesionalisme advokat. Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat telah memberikan status yang jelas bagi profesi advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan yang memiliki wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia/NKRI (Pasal 5)
Sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri, advokat diberikan hak dan kewajiban antara lain:
- Advokat bebas berpendapat atau membuat pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggungjawabnya (Pasal 14 dan 15)
- Advokat memiliki hak imunitas (Pasal 16)
- Advokat berhak memperoleh informasi, data dan dokumen lainnya dari manapun dalam rangka pembelaan (Pasal 17)
- Advokat tidak dapat diidentikan dengan kliennya (Pasal 18 ayat 2)
- Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan kliennya, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat (Pasal 19 ayat 2)
- Advokat berhak menerima honorarium (Pasal 21)
- Advokat memiliki hak retentie (Pasal 4 KEAI)
- Advokat harus menolak menangani perkara yang menurutnya tidak ada dasar hukumnya (Pasal 4 KEAI)
- Advokat berhak mengundurkan diri apabila tidak terjadi kesepakatan dengan kliennya tentang model penanganannya (Pasal 8 KEAI)
- Advokat berhak menolak menangani perkara yang tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya (Pasal 3 KEAI)
- Advokat dilarang menelantarkan kepentingan kliennya (Pasal 6)
- Advokat dilarang berprilaku buruk dan melanggar kode etik dan sumpah advokat (Pasal 6)
- Advokat dilarang bersikap diskriminatif (SARA) (Pasal 18 ayat 1)
- Advokat dilarang memberikan keterangan yang menyesatkan kliennya (Pasal 4 KEAI)
- Advokat dilarang memegang jabatan yang menyebabkan terjadiconflict of interest(Pasal 20)
- Advokat dilarang menjamin kemenangan dalam perkara (Pasal 4 KEAI)
- Advokat dilarang beriklan (Pasal 8 KEAI)
- Advokat wajib menempuh penyelesaian damai dalam perkara perdata (Pasal 4 KEAI)
- Advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma yang tak mampu (Pasal 22)
- Dll
Undang-undang Advokat dan juga KEAI menjadi acuan utama bagi advokat dalam menjalankan profesinya. Namun demikian implementasi kode etik tersebut menjadi persoalan manakala tidak adanya pengawasan secara baik oleh organisasi advokat. Organisasi Advokat yang selalu dirundung konflik menyebabkan atau paling tidak berpengaruh pada implementasi nilai-nilai luhur yang ada dalam kode etik advokat. Berbagai kasus hukum yang menyeret advokat dalam “jejaring lingkaran setan” menyebabkan pudarnya “profesi terhomat” yang disematkan oleh undang-undang.
Untuk mengembalikan “profesi terhormat” tersebut profesionalisme advokat menjadi mutlak diperlukan. Advokat yang hebat bukanlah advokat yang selalu menang dalam perkaranya, bukan pula yang selalu banyak kliennya, bukan juga advokat yang banyak hartanya, akan tetapi advokat yang hebat adalah advokat sebagaimana Pasal 2 KEAI yakni advokat yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah profesinya.Wallahu A’lam.