Mengapa Umat Islam menjadi Pelaku Islamophobia
MENGAPA UMAT ISLAM MENJADI PELAKU DARI ISLAMOPHOBIA?
Arif Sugitanata
Mahasiswa Program DoktorIlmu Syari’ah
Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Mengapa umat Islam sendiri justru menjadi pelaku Islamophobia? Pertanyaan ini mungkin terdengar aneh bahkan mengganggu sebagian orang yang selama ini meyakini bahwa Islamophobia semata-mata datang dari luar, dari media Barat, dari fobia global pasca-9/11 atau dari kebijakan represif negara-negara non-Muslim terhadap simbol-simbol Islam. Namun kenyataan hari ini menunjukkan bahwa sebagian umat Islam bukan hanya menjadi korban tetapi juga turut menyuburkan persepsi negatif terhadap agama Islam itu sendiri. Ini bukan sekadar tentang fitnah yang dilemparkan dari luar melainkan tentang bagaimana Islam ditampilkan secara tidak pantas oleh umat yang mengaku mencintainya. Ketika yang muncul ke permukaan justru ekspresi keberagamaan yang memalukan, penuh dramatisasi atau terputus dari akal sehat dan nilai-nilai luhur Islam, maka benih-benih kecurigaan terhadap agama ini tidak lagi hanya ditanam oleh orang lain tetapi disemai dari dalam rumah sendiri. Yang terjadi bukan semata krisis citra tetapi keretakan batin umat yang semakin dalam, yakni ketika sebagian Muslim mulai merasa asing dengan ajaran agamanya sendiri.
Islamophobia adalah perasaan takut, curiga atau benci terhadap Islam dan umat Islam. Rasa ini biasanya bukan muncul karena pengalaman pribadi yang buruk melainkan karena pengaruh lingkungan, media atau gambaran yang keliru tentang Islam. Misalnya, ada orang yang takut terhadap perempuan berjilbab karena mengira itu identik dengan kekerasan atau radikalisme. Bahkan yang lebih menyedihkan, rasa takut ini bisa muncul dari dalam diri umat Islam sendiri, ketika mereka mulai malu, minder atau ragu untuk menunjukkan identitas keislamannya bukan karena kurang iman tetapi karena Islam kerap ditampilkan dalam bentuk-bentuk yang tidak menggugah kemuliaan, tidak mencerminkan keagungan dan bahkan mengundang ejekan. Salah satu contoh paling mencolok adalah maraknya narasi tentang karomah yang tidak berdasar, dikemas dengan gaya mistik dan teatrikal lalu dibagikan secara masif seolah-olah menjadi bukti keistimewaan yang tak terbantahkan. Padahal keistimewaan yang bersifat luar biasa secara hakiki (khawariqul ‘adah) hanya dimiliki oleh para nabi dan disebut sebagai mu’jizat, yaitu peristiwa yang menembus hukum alam sebagai bukti kenabian, bersifat ilahiah, ditunjukkan atas izin Allah dan disertai dengan amanah risalah. Ia bersumber dari wahyu dan tercatat secara historis dalam literatur keislaman yang sahih. Adapun karomah, jika pun ada, adalah pemberian Allah kepada wali-Nya tanpa klaim, tanpa perlu dipertontonkan, apalagi digunakan sebagai alat untuk membangun kultus ataupun legitimasi kepada masyarakat awam. Ketika umat Islam mempertontonkan jenis keagamaan seperti ini di ruang publik yang terbentuk bukanlah rasa kagum melainkan rasa curiga, jijik atau sinis dari mereka yang mencari nalar dan kedalaman beragama dalam Islam. Maka terjadilah paradoks bahwa agama yang dibangun atas akal dan wahyu justru ditampilkan melalui klaim-klaim supranatural tanpa nalar yang akhirnya memperkuat citra Islam sebagai agama yang anti-intelektual dan anti-kritis.
Dalam kondisi seperti ini, ketika mereka mempertanyakan atau mengkritik berhala baru yang dibangun atas nama karomah, mereka akan diserang dengan tuduhan kurang adab, anti-ulama atau bahkan kaum radikal. Padahal yang mereka lakukan hanyalah mempertahankan Islam dari kekacauan simbolik yang diproduksi oleh sebagian elite agama yang mencari kekuasaan melalui jubah keagungan palsu. Celakanya, suara kritis ini bukan hanya dibungkam oleh para pengikut fanatik tetapi juga dibiarkan begitu saja oleh para tokoh-tokoh Islam arus utama yang seharusnya menjadi penjaga integritas ajaran. Mereka diam ketika umat diseret ke dalam fanatisme taklid buta kepada tokoh yang diagungkan karena nasab bukan karena keilmuannya. Mereka bungkam ketika Islam disulap menjadi tontonan mistik di media sosial tetapi mereka cepat bereaksi dan marah besar ketika ada pandangan yang agak keras dari kalangan yang mereka anggap “radikal, (sebut saja salah satu contohnya seperti wahabi)”. Fenomena ini menunjukkan betapa umat telah memelihara standar ganda dalam menyikapi penyimpangan. Islam yang lembut dibajak untuk kepentingan popularitas, Islam yang keras dikutuk karena tidak mengikuti selera arus utama. Padahal keduanya sama-sama problematik jika tidak dikendalikan dengan ilmu dan adab, tetapi yang satu dilestarikan yang lain dilawan habis-habisan.
Simbol jilbab menjadi salah satu contoh paling gamblang dari kegagalan umat menjaga makna keagamaan dari penyusutan sosial. Alih-alih menjadi manifestasi kesadaran dan ketaatan syariat, jilbab di tangan sebagian umat justru dikomodifikasi menjadi aksesoris mode atau penanda identitas yang terlepas dari nilai-nilai yang semestinya. Tidak sedikit perempuan yang berhijab tetapi secara terang-terangan tampil dengan konten joget-joget di media sosial sambil menempelkan jargon-jargon islami seperti “shalawatan ceria”, “mafia shalawat”, “ngaji happy” atau “ustazah viral”. Dalam ruang digital, fenomena ini dibingkai sebagai strategi dakwah kreatif tetapi dalam praktiknya justru melecehkan kesucian simbol dan memperkuat persepsi bahwa Islam adalah agama yang bisa dibentuk sesuai selera. Hal ini kemudian menimbulkan kebingungan di kalangan generasi muda yang baru mengenal Islam. Mereka mendapati bahwa mengenakan jilbab tidak harus selaras dengan akhlak dan ketaatan serta agama Islam bisa dibungkus sedemikian rupa agar tetap terasa menyenangkan tanpa perlu terlalu serius. Maka yang lahir bukanlah kecintaan terhadap agama tetapi relativisme moral yang menyamakan kesalehan dengan popularitas dan ketaatan dengan gaya hidup selebritas. Ironisnya lagi, tokoh-tokoh agama yang memiliki pengaruh publik tidak bersuara keras terhadap fenomena ini. Mereka lebih memilih merangkul daripada mengoreksi, lebih suka menyebut itu sebagai bagian dari “proses hijrah” ketimbang menyampaikan kritik yang mendidik. Mereka takut kehilangan pengikut, takut kehilangan momen dan akhirnya membiarkan penyimpangan menjadi lumrah.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap maraknya para tokoh muda agama, khususnya dari kalangan yang menyebut diri “gus” (dan semacamnya) yang menggunakan panggung agama untuk mengumbar kata-kata kasar, sarkastik dan bahkan merendahkan umat Islam lain yang berbeda pandangan. Mereka berdakwah tidak dengan ilmu dan kasih sayang tetapi dengan cercaan dan ejekan yang dibungkus dengan jenaka. Umat pun terbiasa melihat agama bukan lagi sebagai sumber adab tetapi sebagai sarana hiburan dan pelampiasan emosi. Ketika kata “anjing”, “goblok” dan “mampus” keluar dari mulut tokoh agama dan mendapat tepuk tangan, maka yang sedang dirayakan bukanlah kebenaran tetapi kebebasan dari etika. Celakanya, mereka yang mengkritik gaya semacam ini justru dianggap tidak paham kultur atau dikatakan tidak tahu bahwa para “gus” itu punya kebebasan berbicara dan bahkan dikatakan “ngajinya kurang jauh”. Dalam iklim seperti ini, pembusukan terhadap citra Islam tidak perlu dilakukan oleh pihak luar karena dari dalam sudah cukup banyak tokoh yang melakukannya dengan penuh semangat dan dibela mati-matian oleh para pengikut yang menjadikan tradisi sebagai tameng dari kritik. Maka jadilah umat ini kehilangan orientasi karena nilai keagamaan disampaikan dengan cara yang jauh dari ruh Islam itu sendiri. Ketika adab tidak lagi menjadi bagian dari dakwah, maka umat pun akan kehilangan rasa malu terhadap kekacauan yang mereka produksi sendiri.
Islamophobia yang tumbuh dari dalam menjadi subur karena umat Muslim sendiri telah menciptakan dua wajah Islam yang saling bertentangan, satu wajah mistik yang dipenuhi karomah dan keturunan suci tanpa akal dan satu lagi wajah populis yang penuh ejekan dan kegaduhan tanpa ilmu. Di antara dua wajah ini, hilanglah Islam yang sejati yang dibangun atas fondasi wahyu, akal dan akhlak. Yang lebih menyedihkan lagi, ketika ada upaya untuk mengembalikan Islam ke jalur yang lurus, ia justru dianggap ekstrem atau radikal. Ketika ada yang menyerukan bahwa agama ini harus dibersihkan dari penyembahan terhadap tokoh, dari kultus simbolik dan dari dakwah yang penuh caci maki, maka ia akan dibungkam dengan berbagai label. Umat telah belajar untuk membenci cermin bukan wajahnya sendiri. Mereka membela tokoh agama yang mencaci tetapi mencaci juga tokoh lain yang menasihati. Mereka memuji joget yang berbungkus shalawat tetapi mencurigai kajian yang berisi tafsir. Mereka mengajak cinta Rasul tetapi mencaci para penghafal hadits karena tidak memiliki garis nasab. Semua ini adalah bentuk keterasingan mendalam yang dihasilkan dari rusaknya mekanisme pemaknaan terhadap Islam di tubuh umat itu sendiri.
Namun yang lebih menyakitkan dari semua ini bukan hanya kenyataan bahwa wajah Islam dipermalukan oleh perilaku sebagian umatnya sendiri melainkan karena kerusakan ini berlangsung dengan tingkat penerimaan sosial yang tinggi, seolah-olah kekacauan ini adalah bagian wajar dari dinamika keagamaan. Di tengah maraknya fenomena yang justru mencoreng marwah Islam, yang menyedihkan bukan hanya banyaknya umat awam yang ikut larut dalam euforia itu melainkan diamnya para tokoh yang seharusnya berfungsi sebagai penjernih wacana, penjaga nalar kolektif dan pelindung kemurnian pesan Islam. Mereka tidak lagi berdiri sebagai pelita yang membimbing umat keluar dari kebingungan tetapi justru memilih kenyamanan pragmatis dengan membiarkan umat terus memelihara kebisingan spiritual karena dari sanalah dukungan politik, jumlah pengikut dan popularitas dapat tumbuh. Ketika seseorang dengan terang-terangan menyebut shalawat sebagai media untuk berjoget dan mencari kesenangan duniawi, tidak ada pembelaan terhadap kemuliaan zikir yang harusnya menenangkan hati bukan mengguncangkan pinggul. Ketika zikir berubah menjadi panggung hiburan massal dan ayat-ayat Al-Qur’an dibacakan diiringi alat musik dalam acara konser “religius”, tak banyak suara yang berani mengatakan, ini bukan dakwah, ini adalah pembusukan makna. Mereka yang mengkritik akan segera dilabeli kaku, kolot, tidak paham budaya atau bahkan diserang secara pribadi sebagai kaum takfiri. Inilah wajah umat hari ini, yang menolak radikalisme dengan semangat tetapi menyambut kemerosotan spiritual dengan tepuk tangan.
Fenomena Islamophobia dari dalam tidak tumbuh dalam ruang hampa, ia dipupuk oleh pembiaran yang disengaja dan difasilitasi oleh ekosistem sosial yang lebih mencintai bentuk daripada substansi. Selama simbol agama masih bisa dijadikan komoditas untuk meraih kekuasaan, pengaruh dan keuntungan, maka kerusakan makna tidak dianggap sebagai hal darurat. Kita melihat bagaimana gelar “ustaz”, “habib” atau “gus” dan yang seirama nada gelarnya digunakan untuk menciptakan otoritas sosial instan tanpa melalui proses keilmuan yang memadai. Popularitas diukur dari jumlah followers bukan kualitas pemikiran. Kredibilitas dakwah ditentukan oleh viralitas konten bukan kebenaran isi. Islam yang seharusnya menjadi jalan hidup yang ditopang oleh ilmu, adab dan komitmen transendental, dikebiri menjadi alat untuk membangun branding personal. Maka umat pun terbiasa untuk menyerap agama sebagai tontonan bukan sebagai panduan. Mereka tidak lagi bertanya “apakah ini benar menurut syariat?”, melainkan “berapa juta views yang dia dapatkan?”. Ketika Islam hanya dikenali dalam bentuk yang sensasional, maka umat pun dengan mudah ikut mempersepsi agamanya sendiri sebagai sesuatu yang absurd, tidak serius dan tidak layak diperjuangkan dalam wajah intelektualnya. Dari sinilah muncul generasi Muslim yang tidak malu mempertontonkan agama dalam bentuk parodi tetapi merasa risih ketika harus menjelaskan Islam sebagai sistem nilai yang kompleks dan menyeluruh.
Islamophobia internal juga dipelihara oleh cara berpikir yang menyederhanakan persoalan menjadi soal faksi. Umat tidak lagi melihat penyimpangan sebagai penyimpangan tetapi sebagai hal yang bisa dibenarkan tergantung dari siapa pelakunya. Jika pelakunya berasal dari kelompok yang dikagumi atau dianggap “tradisionalis”, maka kesalahan itu akan diabaikan atau bahkan dibela. Namun jika pelakunya berasal dari kelompok yang dicap “radikal” atau apapun yang selama ini dianggap sebagai lawan ideologis, maka kesalahan kecil pun dibesar-besarkan dan dijadikan bukti betapa bahayanya kelompok tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa dalam tubuh umat Islam, objektivitas dalam menilai ajaran dan perilaku telah runtuh. Yang dijaga bukan lagi kemurnian Islam tetapi nama kelompok, loyalitas golongan dan kenyamanan politik. Inilah penyebab utama mengapa penyimpangan populer yang dibungkus dalam jargon cinta Nabi dan tradisi dibiarkan sedangkan gerakan pemurnian ajaran yang membawa suara keras dan tegas malah ditolak mentah-mentah. Yang satu dianggap merangkul budaya, yang lain dianggap mengancam harmoni. Padahal penyimpangan tetaplah penyimpangan, tak peduli dari kelompok mana ia lahir. Ketika umat gagal bersikap adil dalam menilai dirinya sendiri, maka ia sedang menggali lubang kecurigaan publik terhadap Islam secara keseluruhan.
Semua ini menjelaskan mengapa umat Muslim hari ini menjadi pelaku dari Islamophobia tanpa menyadarinya. Mereka mencintai Islam secara simbolik tetapi takut menghadirkan Islam secara konseptual. Mereka menyebut nama Rasul dengan syair-syair panjang tetapi tidak berani membela sunnahnya yang sejati ketika sedang dikompromikan. Mereka mengajarkan adab terhadap tokoh tetapi membiarkan tokoh itu menghina syariat. Mereka membela kebebasan berekspresi dalam shalawatan yang menjurus pada kemaksiatan tetapi mengecam keras ketika seseorang membaca hadits dan menyebutkan syariat secara eksplisit. Maka tak heran jika sebagian generasi muda Muslim memilih menjauh dari Islam, bukan karena terpengaruh orientalis tetapi karena mereka menyaksikan sendiri bagaimana Islam dipertontonkan secara tidak mulia oleh umatnya sendiri. Mereka tidak menemukan nilai spiritual yang menyentuh, tidak melihat pemikiran yang meyakinkan dan tidak menemukan keteladanan yang menyejukkan. Yang mereka lihat adalah kekacauan simbol, pertengkaran tokoh, saling cercaan dan pertunjukan agama yang makin kehilangan esensinya. Dalam iklim seperti ini, Islam menjadi sesuatu yang tidak lagi menginspirasi, tetapi membingungkan dan dari kebingungan itulah lahir rasa curiga dan dari rasa curiga itulah Islamophobia menemukan jalannya, bukan dari luar tetapi dari dalam.
Namun, sekeras dan semenyakitkan apa pun kenyataan bahwa umat Islam sendiri menjadi agen dari Islamophobia yang mereka tolak secara lisan, harapan belum sepenuhnya musnah. Justru dari kedalaman krisis ini, kebutuhan akan pembenahan menyeluruh menjadi semakin jelas. Sebab problem ini tidak mungkin diselesaikan dengan fatwa-fatwa normatif yang hanya bersuara di permukaan tanpa menyentuh akar permasalahan atau dengan slogan romantik tentang ukhuwah dengan tetap memelihara loyalitas kelompok dan pembiaran terhadap penyimpangan. Yang diperlukan adalah keberanian kolektif untuk melakukan introspeksi mendalam, melepaskan ego sektarian dan menegakkan kejujuran intelektual dalam membaca realitas umat. Umat Islam harus berani mengakui bahwa sebagian wajah Islam yang tampak di publik hari ini memang layak dicurigai, bukan karena Islamnya salah tetapi karena orang-orang yang mengatasnamakan Islam telah merusak nilainya demi kepentingan popularitas, kekuasaan atau fanatisme golongan. Harus ada kesediaan untuk menegur, bahkan mengecam keras siapa pun yang menyimpangkan agama, terlepas dari statusnya sebagai habib, gus, ustaz atau apapun panggilannya. Tidak boleh ada ketakutan untuk berkata bahwa zikir yang dijadikan pertunjukan itu tidak pantas, bahwa caci maki dari mulut seorang dai adalah aib, bahwa berjoget sambil menyebut nama Rasulullah adalah bentuk pelecehan terhadap shalawat.
Solusi tidak akan datang jika umat masih takut untuk membedakan antara kebaikan yang hakiki dan popularitas yang kosong. Harus ada upaya serius untuk memulihkan kembali kehormatan ilmu dan adab sebagai fondasi kehidupan beragama. Pendidikan keislaman tidak boleh berhenti pada pengajaran ritual dan hafalan teks, tetapi harus membentuk cara berpikir yang sehat, jujur dan bertanggung jawab. Umat harus dididik untuk mengenal Islam sebagai sistem yang utuh, yang menghormati akal, menjunjung tinggi moralitas dan membimbing manusia untuk menjadi khalifah yang adil, bukan pengikut buta yang mudah tertipu oleh gelar dan jubah. Di sinilah pentingnya membangkitkan kembali tradisi keilmuan Islam yang kritis, mendalam dan solutif. Umat perlu diperkenalkan kembali kepada tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam yang tidak hanya mengajarkan agama tetapi juga membela kebenaran dengan keberanian intelektual yang luar biasa. Islam bukanlah agama yang membiarkan kemungkaran demi menjaga persatuan semu. Sebaliknya, Islam adalah agama yang menempatkan amar makruf nahi mungkar sebagai bagian dari mekanisme sehat untuk menjaga integritas umat. Selama prinsip ini digantikan oleh budaya diam, toleransi selektif dan pembelaan kelompok, maka Islamophobia akan terus tumbuh di dalam tubuh umat karena umat sendiri telah kehilangan kepekaan terhadap keburukan yang mereka pelihara.
Langkah selanjutnya yang tak kalah penting adalah membangun kembali ruang publik Islam yang sehat dan beradab. Media sosial, mimbar dakwah, majelis ilmu hingga institusi pendidikan harus menjadi tempat untuk menyuarakan kebenaran dengan cara yang tepat. Umat tidak boleh terus terjebak dalam romantisme masa lalu yang hanya membanggakan gelar nasab dan gelombang massa tetapi lupa menimbang kualitas pemikiran dan moral. Sudah saatnya kita menolak segala bentuk pelecehan terhadap Islam, tidak peduli apakah ia datang dari luar atau dari dalam. Kita harus sepakat bahwa Islam bukan milik satu golongan, bukan hak eksklusif keturunan tertentu dan bukan alat untuk membungkam kritik. Islam adalah sistem nilai universal yang tidak bisa dijaga hanya dengan pujian dan syair tetapi dengan keberanian untuk membersihkannya dari segala bentuk distorsi meskipun distorsi itu datang dari mereka yang paling banyak disebut dalam acara shalawatan. Jika umat tidak mulai memperbaiki cara mereka memperlakukan agamanya sendiri, maka tak akan ada bedanya antara fitnah dari luar dan pengkhianatan dari dalam karena dampaknya sama-sama merusak iman, melemahkan nalar dan menjauhkan manusia dari jalan yang lurus.
Sungguh tidak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat Islam dijadikan alat untuk menciptakan kekaguman palsu, ketakutan palsu dan kesalehan palsu. Dan tidak ada yang lebih berbahaya bagi masa depan Islam selain umat yang tidak sadar bahwa merekalah yang sedang menjatuhkan kehormatan agamanya sendiri. Maka perlawanan terhadap Islamophobia hari ini bukan lagi soal menghadapi musuh luar tetapi soal membangunkan kesadaran internal bahwa mencintai Islam berarti menjaga wajahnya tetap jernih, menyuarakan kebenarannya dengan adab, mengkritik penyimpangannya dengan berani dan memutus mata rantai pembiaran terhadap kekacauan simbolik yang menjauhkan Islam dari fitrahnya sebagai rahmat bagi seluruh alam.