Jaminan Produk Halal di Indonesia: Dari Norma hingga Politik Hukum
Kegiatan Thesis Talk berlangsung dengan semarak di Ruang Teknoklas
JAMINAN PRODUK HALAL DI INDONESIA: DARI NORMA HINGGA POLITIK HUKUM
UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal lahir dalam konteks politik demokratis, namun belum mampu mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Undand-undang ini kemudian mengalami perubahan melalui program omnibus law dan menghasilkan terbitnya UU No. 6 Tahun 2023. Secara politik hukum, Undang Undang ini dihasilkan dalam konfigurasi politik yang lebih tertutup. Ironisnya, konfigurasi yang otoriter ini justru melahirkan produk hukum yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Demikian paparan yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Luthfi Hamid, M.Ag, Kabiro UIN Raden Mas Said Surakarta yang juga alumni Program Doktor Ilmu Syari’ah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam kegiatan Thesis Talk #5 yang diselenggarakan oleh Prodi S3 Ilmu Syari’ah bekerjasama dengan Institute for the Study of Law and Muslim Society (ISLaMS) . Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Rabu, 18 Juni 2025 bertempat di Ruang Teknoklas Lantai 1 Fakultas Syari’ah dan Hukum. Acara yang berlangsung dari jam 09.00 ini mengambil tema “‘Halal’ dalam Kajian: Norma dan Politik Hukum Jaminan Produk Halal di Indonesia.” Selain Dr. Muhammad Luthfi, kegiatan ini juga menghadirkan narasumber lain, yaitu Dr. Diky Faqih Maulana, M.H, Sekretaris Prodi Magister Ilmu Syari’ah, yang juga alumnus Prodi S3 Ilmu Syari’ah.
Kegiatan ini diawali dengan sambutan oleh Ketua Program Studi Doktor Ilmu Syariah FSH UIN Sunan Kalijaga, Dr. Kholid Zulfa, M.Si., yang menekankan pentingnya manajemen akademik dalam proses penyelesaian studi. “Lambat dan cepatnya proses akademik bukan hanya soal kecerdasan, melainkan soal manajemen kuliah. Saat tesis dikerjakan, mahasiswa masuk ke ranah privat yang menuntut kedisiplinan pribadi,” ujarnya. Ia juga menambahkan bahwa lingkungan yang suportif sangat dibutuhkan. “Pergaulan akademik yang baik akan saling mengingatkan dan mendorong mahasiswa untuk tetap produktif,” tambahnya.
Sekretaris Direktur ISLaMS sekaligus Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Prof. Dr. Ali Sodiqin, M.Ag., menyampaikan bahwa ISLaMS hadir sebagai respon atas minimnya diseminasi penelitian di lingkungan kampus. “ISLaMS dibentuk karena minimnya diseminasi penelitian di Fakultas. Melalui program seperti Thesis Talk, Bapers Talk (Brown Paper Talk), dan Friday Evening Talk, kami ingin menghidupkan kembali semangat akademik yang sempat lesu,” ujarnya. "Semangat ISLaMS ini selaras dengan visi, misi dan tujuan Fakultas Syari'ah dan Hukum. Sebagai lembaga yang memiliki visi menjadi center of Excellence dalam kajian Ilmu Syari'ah dan Ilmu Hukum, maka kajian-kajian dalam bidang hukum dan hukum Islam harus selalu dihidupkan. Civitas akademika harus mampu merespon perkembangan mutakhir dari hukum Islam maupun hukum negara, sebagai bagian dari kontribusi nyata pengembangan ilmu pengetahuan," demikian paparan Prof. Ali Sodiqin dalam sambutannya.
Dr. Muhammad Lutfi Hamid, M.Ag., yang juga pernah menduduki jabatan Sekretaris BPJPH (2018–2021) memaparkan disertasinya tentang dinamika regulasi halal dari perspektif politik hukum. Berdasarkan pengalamannya sebagai Sekretaris BPJPH, beliau kaya dengan data yang berkaitan dengan behind the scene terbitnya peraturan perundang-undangan tentang jaminan produk halal di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Diky Faqih Maulana, M.H., menyampaikan apresiasinya terhadap pemerintah yang telah berhasil mengambil alih penyelenggaraan jaminan halal dari lembaga non-negara. “Saya mengapresiasi kinerja pemerintah yang berhasil menyusun dan menerbitkan UU JPH, setelah 20 tahun persoalan halal ini ditangani oleh LSM, dalam hal ini MUI,” kata Diky. Dia menjelaskan bahwa kehadiran regulasi ini menjadi tonggak penting dalam perubahan tata kelola hukum halal di Indonesia. “Hal ini menunjukkan adanya peralihan otoriter dari kharismatik ke otoritas legal,” ungkapnya. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pergeseran ini dapat dipahami melalui pendekatan sosiolog Max Weber, dari dimensi teologis dan sosiologis ke ranah politis.
Diky juga menekankan pentingnya langkah strategis pemerintah dalam pengembangan industri halal melalui Master Plan Industri Halal Indonesia (MPIHI) 2023–2029. “Pemerintah memiliki itikad baik dengan melahirkan MPIHI. Di dalamnya terdapat muatan strategis untuk mendorong penguatan regulasi dan kebijakan hukum,” jelasnya. Ia menyebutkan bahwa dokumen tersebut mencerminkan komitmen kuat negara dalam mendukung keberlanjutan industri halal nasional. “Langkah ini bukan hanya menata ulang peran negara, tetapi juga menjadi penopang kedaulatan konsumen Muslim di era modern,” pungkasnya.
Menutup kegiatan, Direktur ISLaMS, Prof. Euis Nurlaelawati, mengapresiasi kedua narasumber atas kontribusi pemikirannya. “Salah satu kekuatan forum ini adalah kemampuannya mengingatkan kita semua atas posisi kita dalam menyikapi persoalan halal secara serius dan reflektif,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa ISLaMS akan terus konsisten dalam membangun atmosfer akademik yang sehat. “Diskusi seperti ini sangat penting bagi civitas akademika, dan kami di ISLaMS berkomitmen untuk terus memperkuatnya,”tutupProf. Euis.